Tanggal 30 September tidak akan pernah lepas dari ingatan peristiwa paling berdarah di negeri ini. Tidak pelak jutaan orang tewas dan diasingkan karena dianggap terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Satu diantara yang mengalami masa-masa pahit saat itu ialah pemuda asal Kecamatan Pedes, Sarkom (75).
Sarkom yang saat itu masih berusia 19 tahun, harus mengalami pahitnya masa pembuangan di Pulau Buru selama sembilan tahun. Bersama Pramoedya Ananta Toer dan beberapa orang yang dianggap terlibat dalam partai serta organisasi berhaluan kiri, Sarkom juga terpaksa menelan kebingungan karena peristiwa yang hingga kini masih misteri tersebut melemparnya ke negeri antah berantah.
Sarkom bercerita, ia yang saat itu terlibat aktif dalam Organisasi Pemuda Rakyat dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Paska pembunuhan tujuh Jendral ia dan orang-orang yang aktif dalam partai dan organisasi pemuda, dipanggil oleh Subdempom Karawang tanggal 6 Desember 1965, lalu tanpa melalui persidangan ia dijebloskan ke dalam penjara, setelah itu pada bulan Maret 1966 dipindahkan ke Kebon Waru Bandung selama tiga tahun. Setelah itu, pada tanggal 1 Juli 1969 dipindahkan ke Nusakambangan selama 16 hari, lalu diasingkan ke Pulau Buru 16 Juli 1969 selama sembilan tahun.
Dalam ingatannya yang masih tajam ia mengatakan, dirinya dituduh terlibat dalam pembunuhan tujuh jenderal karena aktif di organisasi Pemuda Rakyat. "Kita dituduh terlibat, padahal semua eksponen partai sama sekali tidak tahu mengenai peristiwa itu. Saya sendiri tahu ada peristiwa 30 S dari Danramil yang kebetulan tetangga," ujarnya.
"Pada waktu itu, karena saya masih anak remaja yang sedang bergelora, bersama dengan seorang teman, siang hari kami menyanyikan lagu 'Mars Sukarelawan'. Lalu Danramil bicara, "jangan enak-enak nyawa kamu sudah diujung senjata". Dari situ saya tahu ada kejadian di Jakarta. Namun semua orang kebingungan, ketika saya di dalam tahanan pun, jangankan saya sebagai anggota biasa dari unsur pemuda, orang-orang partai pun kebingungan, semua tidak tahu apa yang terjadi, dan tidak ada yang mau menanyakan peristiwa yang sebenarnya terjadi di Jakarta," tuturnya.
Pada awal peristiwa 30 September di Karawang hanya terjadi satu kali pembunuhan, yaitu terjadi pada Ketua Barisan Tani Karawang (BTI) Irlam. "Waktu itu bulan Oktober dibunuh di Bunder Kecamatan pedes, kalau sekarang masuk Kecamatan Cibuaya. Setelah Oktober 1965, tragedi kemanusiaan di Karawang justru terjadi pada awal tahun 1968, ketika Panglima Kodam di Jawa barat diganti dari Ibrahim oleh Darsono," tuturnya.
Berbeda dengan daerah lainnya, pembantaian orang-orang yang dianggap berhaluan kiri di Kabupaten Karawang justru terjadi tahun 1968. Sarkom yang dulu aktif dalam Organisasi Pemuda Rakyat dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) mengungkapkan, hal itu disebabkan ketika peristiwa 30 September 1965 orang-orang eksponen Partai Komunis Indonesia (PKI) di Karawang, sebagian sudah ada yang dipenjara di Subdenpom Karawang, dan sebagian lagi diasingkan ke kantor desa dan kecamatan.
"Dari tahun 1965 sampai 1968, di Karawang cuma terjadi pengrusakan dan pembakaran rumah oleh massa. Baru setelah Panglima Kodam Jawa Barat diganti oleh orangnya Nasution, orang-orang Karawang yang terlibat dalam partai dibantai. Bahkan pembataian yang dilakukan sangat tidak manusiawi," ungkapnya.
Sarkom yang saat kejadian mendekam di Rutan Kebon Waru, mengetahui pembantaian dari seorang kawan yang melihat peristiwa tersebut. Sebelum dihabisi, banyak yang disiksa terlebih dahulu, seperti salah satu organ tubuhnya dipotong dan diarak-arak. Menurutnya, pada saat terjadi pembantaian tersebut banyak orang-orang PKI yang kebingungan. Sebab ketika dijebloskan ke dalam penjara, tidak ada yang diberitahu penyebab dari permasalahan yang terjadi. "Kami dipukuli, disiksa secara tidak wajar agar kami mengakui perbuatan yang tidak kami lakukan sama sekali," ungkapnya.
Ia melanjutkan, memang sebelum tanggal 30 September 1965, Pemuda Rakyat dilatih di Lubang Buaya. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah, apabila pemimpin partai ingin menghabisi para jenderal, kenapa harus di tempat dimana para simpatisan Komunis sebelumnya berlatih ketarunaan. "Sangat bodoh apabila pemimpin partai menculik dan membunuh para jenderal di tempat bekas latihan para eksponen partai," tuturnya.
Pada saat latihan di Lubang Buaya, menurutnya idak seorangpun orang partai yang melatih Pemuda Rakyat, bahkan semua orang yang ada di Lubang Buaya selain Pemuda rakyat adalah tentara. "Kami disana dilatih oleh tentara, dan saya pun ketika mau pulang ke Karawang diberi ongkos oleh tentara bukan orang sipil," katanya.
Hingga kini Sarkom masih bertanya-tanya, apakah pada saat penculikan Jenderal Nasution itu lepas atau sengaja dilepaskan oleh pelaku, dan apakah Ade Irma Nasution terbunuh atau sengaja dibunuh. "Hal inilah yang terus menjadi pertanyaan saya sampai saat ini. Sebab pada waktu itu, orang yang paling dibenci PKI adalah Nasution," tuturnya.
Pelurusan sejarah memang mutlak dilakukan, agar negeri ini tidak terus menerus terbelenggu oleh paradigma salah tentang peristiwa 30 September. Sebab, tudingan yang tidak mendasar selama ini disematkan kepada paham yang sebetulnya berada diposisi partai yang kalah perang dalam pergolakan politik '65. (*)
No comments:
Post a Comment