Pagi masih buta, namun sekelompok pelajar tingkat menengah pertama di Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Purwakarta, sudah bertebaran berjalan menyusuri jalan setapak hutan karet. Puluhan siswa SMPN 3 Tegalwaru yang tinggal di daerah terpencil itu terpaksa berangkat sekolah sekitar pukul 05.00 WIB.
Betapa tidak, jarak lokasi sekolah dengan rumah mereka hampir rata-rata 7-8 kilometer. Tak hanya itu, selain cukup jauh daerahnya-pun berbukit, hal itu menjadi alasan bagi siswa-siswi ini berangkat sepagi itu. Tak ada alat untuk mempersingkat waktu, seperti kendaraan. Jarak sejauh itu terpaksa mereka tempuh dengan jalan kaki setiap harinya. Sekitar pukul 07.00 WIB barulah mereka sampai ke sekolah, dua jam sudah waktu yang mereka habiskan di perjalanan. Kondisi ini tak membuat pelajar yang tingal di daerah-daerah terpencil itu patah arang, mereka mengejar impiannya untuk terus bersekolah. Kampung terpencil yang mereka tinggali diantaranya, Kampung Cilanggohar Desa Pasangrahan, Kampung Bojong Desa Galumpit, dan Kampung Kiaralawang Desa Cisarua. "Impian meraih masa depan cerah adalah harapan kami. Kalau ditanya ya capek, apalagi daerah kami berada diperbukitan, bisa dikatakan kami menelusuri bukit setiap berangkat pagi dan pulang siang," kata Oyeh M Rusmiati (14).Saat itu Rusmiati dan ketiga teman satu kampungnya, Eni Nuraeni (14), Berliana (14), dan Dede Mila Meliawati (14), sedang asyik istirahat di kantin sekolahnya. Keempat siswi belia itu merupakan beberapa orang pelajar gigih yang berasal di tiga kampung paling terpencil di tiga desa tersebut.
Saat ditanya pengalaman dan tantangannya ketika menempuh perjalanan menyusuri hutan di pagi gelap saat berangkat sekolah, keempat siswa ini sama-sama menjawab "ular". Menurut mereka di hutan karet banyak ular berbisa, tak sedikit temannya yang pernah dipatuk ular walaupun belum pernah ada menelan korban jiwa. "Kami takut ular jika sedang ada di hutan, teman saya Dede ini dulu pernah dipatuk ular di hutan karet saat ia kelas 8," kata Oyeh sambil menunjuk Dede Mila Meliawati temannya yang sedang duduk di bangku kantin sekolah itu. Mereka berempat teman satu kelas yang saat ini sudah duduk di kelas 9B di SMPN 3 Tegalwaru.
Bergantian mereka menjawab, Dede yang ditunjuk Oyeh pun mulai menceritakan pengalaman yang tidak bisa dilupakan seumur hidupnya itu. Menurut Dede, kejadiannya saat berangkat sekolah bersama teman-teman. Tiba-tiba saja kakinya ada yang sakit seperti tertusuk, setelah dilihat ada ular berbisa tidak jauh dari jalan setapak yang tengah mereka pijak di tengah hutan karet itu. Beberapa temanya pun panik, sebagian temannya mengantar Dede pulang untuk diobati ke dukun kampung, sedangkan yang lain melanjutkan perjalanan ke sekolah. "Jari kelingking kaki kiri saya yang dipatuk. Saat itu musim hujan, jadi kami setiap kali berangkat ke sekolah tak pakai sepatu. Sepatu kami simpan di dalam tas, karena takut kotor, rasanya sakit dan panas. Waktu itu saya tidak sekolah sampai 10 hari karena masih sakit," kata Dede menceritakan.
Sementara menurut Eni Nuraeni, cerita berkesan dan menyenangkannya adalah tentang obor yang setiap pagi mereka bawa sebagai penerang dalam perjalanan menuju sekolah. "Kami berbondong-bondong membawa obor, hal itu sangat menyenangkan bagi kami," ujarnya.
Cerita para pelajar ini pun dibenarkan oleh guru mereka, menyusul daerah tersebut selain gersang juga masih dipenuhi hutan yang rimbun, ditambah gunungan batu yang menjulang dipenuhi pepohonan dan ilalang. "Murid di sini 15 persen dari sekitar 315 siswa yang ada di sekolah kami, mereka rumahnya berada di dusun-dusun terpencil," kata guru olah raga SMPN 3 Tegalwaru, Supradi.
Menurutnya, Sekolah di SMPN 3 Tegalwaru di Desa Cisarua, Kecamatan Tegalwaru, adalah sekolah tingkat menengah pertama satu-satunya harapan masyarakat di Desa Pasangrahan, Desa Galumpit dan Desa Cisarua. "Lokasi sekolah kami kurang lebih 15 kilometer dari pusat Kecamatan Tegalwaru, sekolah terpencil ini adalah harapan mereka. Karena jika ke SMPN 1 Tegalwaru jaraknya lebih jauh bagi anak-anak yang tinggal di pelosok seperti mereka, tidak mungkin bisa mengcapainya karena ongkos ojek motor bisa sekitar Rp 20 ribu sekali berangkat," katanya.
Sepintas terlihat betapa perjuangan pelajar untuk mencari pendidikan sebagai bekal masa depan mereka dilalui dengan gigih, dan seolah menantang maut. Keseharian pelajar di daerah terpencil ini bertolak belakang dengan kehidupan pelajar seumuran mereka di kota besar, yang pergi ke sekolah selalu mengenakan kendaraan. Bahkan sebagian masih ada yang diantar orang tua mereka atau sopir pribadi dengan mobil-mobil mewah. (*)
No comments:
Post a Comment