Monday, July 6, 2015

Revolusi Memakan Anak Kandungnya Sendiri (bagian 1)




Sejarah mencatat sebelum tanggal 17 Agustus 1945, sekelompok pemuda dengan nekat menculik Sukarno dan Hatta, berikut Fatmawati dan bayinya Guntur dibawa ke Rengasdengklok untuk dipaksa memproklamirkan kemerdekaan. Peristiwa ini sebenarnya bermula pada kunjungan sekelompok pemuda menemui Sukarno dan Hatta di suatu tempat. Orang itu adalah : Wikana (ketua), DN Aidit, Soebadio Sastrosatomo, Suroto dan Yusuf Kunto.

Pada pertemuan itu sekelompok pemuda itu ngotot agar kemerdekaan Indonesia di proklamasikan secepatnya sebelum ada keputusan resmi dari sekutu tentang status Indonesia, artinya masa vakum kekuasaan akibat kalahnya Jepang ibarat ‘Golden Time’ bagi orang kena serangan jantung sebelum diselamatkan dokter atau mati ditengah jalan. Su
karno menolak ia takut kalau proklamasi dilakukan tanpa menyertakan Panitia Kemerdekaan yang notabene buatan Jepang maka bisa terjadi penangkapan-penangkapan yang tidak perlu dan korban dari pihak rakyat karena kebrutalan Jepang. Tapi para pemuda itu bilang mereka sudah siap, dan revolusi tinggal tunggu pelatuknya. Jakarta akan terbakar api perang kemerdekaan. Sukarno tetap menolak permintaan pemuda itu. Akhirnya salah seorang dari mereka dalam suasana panas mengancam bila Bung Karno tidak mau memproklamirkan maka akan ada pertumpahan darah dalam pertemuan ini. Bung Karno yang terkenal nggak mau ngalah, malah balik mengancam sambil pegang lehernya dan berteriak. “ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu, dan sudahilah nyawa saya sekarang juga, jangan tunggu besok!” Hatta yang lebih berkepala dingin menengahi suasana yang sudah memanas itu, dia bilang “Sudah jangan diteruskan...kalau kalian sanggup proklamasikan saja sendiri” Hatta meminta pemuda lebih sabar menunggu keadaan.

Jelas suasana ini membuat para pemuda yang memaksa Bung Karno kecewa apalagi Wikana yang sudah sangat yakin bahwa Kaigun (Angkatan Laut Jepang) pasti bisa membantu Indonesia, ia kenal dengan petinggi-petinggi Kaigun yang memang agak bersimpati atas kemerdekaan Indonesia. Peristiwa inilah yang kemudian mencetuskan ide gila untuk menculik Sukarno dan Hatta.

Lalu bagaimana yang terjadi dengan nasib orang-orang yang terlibat pada pertemuan itu setelah Indonesia merdeka?.

Sukarno menjadi Presiden Indonesia pertama, namun diakhir hidupnya ia dikarantina akibat peristiwa G 30 S yang nggak jelas siapa yang main. Akhir hidupnya menderita sakit lever dan wajahnya bengkak-bengkak, dokter yang merawat Bung Karno bukan lagi dokter Mahar Mardjono tapi dokter hewan dan ia tidak boleh baca koran, menerima tamu bahkan kerap menerima perlakuan kasar dari pengawal yang diperintahkan Junta Militer Orde Baru untuk menjaga beliau. Orang yang terakhir menjenguk beliau adalah Hatta. Sukarno yang dalam keadaan koma tiba-tiba tersadar ketika Hatta datang, dengan suara pelan dia berkata “Hatta kau disini?”.Hatta menanggapinya dengan menjawab “Bagaimana keadaanmu, No?” Hatta memanggil Sukarno dengan nama kependekan seperti yang sering ia kalau ia memanggil Bung Karno di jaman pergerakan sampai awal kemerdekaan. Bung Karno menjawab sama dengan apa yang ditanyakan Hatta dalam bahasa Belanda “Hoe gaat het met Jou?”. Hatta menangis sambil memegangi tangan Bung Karno.

Tokoh yang paling tragis dari kisah orang-orang yang hadir dalam pertemuan itu adalah DN Aidit alias Bang Amat. Ia yang diawal kemerdekaan tertangkap Belanda dan dipenjarakan di Pulau Onrust lalu setelah dibebaskan ia bergabung dengan gerakan Musso, akibat peristiwa Madiun 1948, ia bersembunyi dan baru muncul di awal tahun 50-an. Ia juga dicari-cari Rezim Sukiman pada Razia Agustus 1951, kemudian PKI mendapat pengakuan politik oleh Sukarno, dan DN Aidit merevitalisasi PKI, lalu membesarkan partai ini menjadi partai paling menakutkan bagi lawan-lawan politiknya. Akibat peristiwa G 30 S ia dituduh sebagai dalang utama dan kabarnya ia dihabisi oleh prajurit RPKAD di sebuah tempat di Solo. Pembunuhan terhadap karakternya paling brutal dalam kisah sejarah Indonesia, ia bukan saja dibantai kehidupannya tapi juga dibantai namanya, DN Aidit menjadi nama paling mengerikan baik di buku-buku pelajaran maupun film atau kisah-kisah di masa Orde Baru.

Soebadio Sastrosatomo juga mengalami nasib yang kurang baik dalam hidupnya setelah Indonesia merdeka. Pada awalnya ia masa-masa manis berpolitik. Pada saat pemerintahan Amir Syarifudin jatuh akibat mosi tidak percaya terhadap perundingan Renville, Amir yang juga tadinya satu partai dengan Badio alias Kiyuk..berkata pada Badio dalam sebuah rapat mendadak “Ik leg mijn ambt neer. Saya sudah kalah, Badio..wordt jij maar Perdana Menteri. Daar is the plane, ga jij maar Jakarta om meet de Belanda te spreken..(Saya letakkan jabatan saya, saya sudah kalah Badio, kau saja jadi Perdana Menteri.Disana ada pesawat terbang, kau pergilah ke Jakarta untuk berunding dengan Belanda). Saat itu umur Badio baru 30 tahun. Namun Badio menolak tawaran Amir.

Saat Sukarno mengusulkan supaya Badio diangkat menjadi Jaksa Agung pada bulan November 1945 Hatta menolak dengan berkata “Soebadio is the jong” (Soebadio terlalu muda) jadilah Badio seumur-umur tidak pernah menerima jabatan resmi pemerintah. Malah ia keluar masuk penjara. Di jaman Demokrasi terpimpin Badio masuk penjara Madiun karena dianggap menentang Sukarno. Lalu di jaman Orde Baru tanpa proses pengadilan ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara selama 888 hari. Hidupnya sangat sederhana, Pak Badio ini tinggal di Jalan Guntur No. 49 Jakarta. Rumahnya merupakan bangunan tua yang lapuk di makan usia. Badio ini termasuk anak didik Sjahrir, Ia benci sekali dengan Suharto namun ia menyenangi Bung Karno walaupun ia pernah dipenjara pada saat jaman Bung Karno. Di jaman Orde Baru Megawati berkali-kali datang ke rumah Badio dan kalau Megawati datang, Badio selalu tanya “Apa kata Bapak?” Badio yakin Megawati mampu berdialog dengan arwah Bung Karno.

No comments:

Post a Comment