Saturday, July 18, 2015

Hitler Dies in Indonesia

German Nazi leader Adolf Hitler declared dead suicide in the bunker ,
denied the news page of the Daily Telegraph , Monday, September 28, 2009 , the History Channel Documentary Program USA . The Daily Telegraph said, if Russia saved Hitler 's skull does not belong to the Fuhrer . Rather , the skull belonged to women aged under 40 years .

In Indonesia , circulated an information stating Hitler did not die in 1945. He managed to escape to Indonesia and became a doctor in Sumbawa Besar .

It was raised after finding an old book written using shorthand language of the ancient German . Actually the book without a title , so it appears some of the terms for the call , such as the ' Brandenburg Codex '.

The book contains a record of saving the Fuhrer of Berlin until the last possibility is Surabaya . The book was reinforced by a personal note Doctor Poch , a German citizen in Sumbawa doctor who is believed to be the real Adolf Hitler

In a note Poch , he and his wife avoid pursuit ally left Rome , exactly from the old book , that the code is FBSGJBS R. Namely F which means Fuhrer ( leader ), and B ( Berlin ) , S ( Salzburg ) , G ( Graz ) , J ( Yugoslavia ) , B ( Belgrade ) , S ( Sarajevo ) , R ( Rome ) , before finally flying to Sumbawa Besar .

Poch own doctor identified as the real Hitler by a doctor graduated from the University of Indonesia ( UI ) , Dr. Sosrohusodo , who served in hospitals in Sumbawa . Dr Sosrohusodo even write these experiences in an article in People's Daily Thoughts approximately 1983 .

In writing the article, Dr. Sosrohusodo mention if he met an old doctor from Germany named Poch in Sumbawa in 1960 .




Thursday, July 9, 2015

JADILAH SAFETY PLAYER DAN ANAK NEGERI INI TAK AKAN PERNAH KEMANA-MANA

Beritanya terpetik minggu kemaren ( Koran Pikiran Rakyat edisi 26 November 2013 ), ketika sebuah korban kembali jatuh. Sebuah organisasi Pecinta Alam Bramatala yang UKM nya Univ Widyatama Bandung tikarnya harus digulung. Alasannya pada saat pendidikan dasar, ada siswa yang meninggal dunia.
Tentunya berita duka, seorang siswa meninggal dunia harus menjadi bahan pelajaran berguna bagi kita semua. Seharusnya menjadi bahan renungan, dan sekaligus menyampaikan salam duka bagi keluarga yang ditinggalkannya.

Namun terlepas dari kedukaan tadi, sesungguhnya ada kalimat tanya dihubungkan dengan pembredelan organisasinya. Quo vadis sistem pendidikan nasional kita ?.....

Silahkan cek, semua organisasi PA yang tikarnya digulung oleh para pemegang otoritas pendidikan di negeri ini ( apalagi di tingkat SLTA ), adalah konon karena kegiatannya mengandung resiko, terlalu beresiko, begitulah alasannya. Saat resiko itu terjadi, sep
erti kecelakaan bahkan kematian, maka lembaga pendidikanlah yg kena getahnya. Salah satunya adalah “citra” lembaga menurun, akibatnya kekurangan mahasiswa, akibatnya lagi pemasukan keuangan akan seret. Lalu “bisnis” pendidikan akan layu dan mati.

Jadi wajar dalam pemikiran mereka, apapun yang berbau resiko harus dibuang jauh-jauh, karena hal itu akan menggoyang kemapanan citra. Sang “resiko” menjadi kartu mati yg harus dihindarkan, dan pelajaran untuk menjadi “safety player”, inilah yang tengah di “ajarkan” oleh para pemangku lembaga pendidikan tinggi. Sengaja kata “pengajaran” yg dipilih, karena pengajaran layaknya kursus, hanya berbicara dari pandangan teknis hardskills saja. Sebaliknya dengan sistem pendidikan, selain hardskills juga berisi wawasan softskills, yang kelak akan menjadi fondamen bari kerangka sistem nilai, sebuah “value system”.

Jadilah safety player, itu yang kami tolak. Bahwa basis pendidikan Pecinta Alam Indonesia bersumber dari kepanduan dunia. Saat pandu di pramuka kan, maka sejak itu pula organisasi PA tumbuh subur di negeri ini. Buku “Adventuring to Manhood” dari Lord Baden Powel of Gilwell menjadi rujukan sejak awal. Manhood bukan kejantanan dalam pemahaman macho yang kering dan eksploitatif, namun lebih ke feminis yang bersahabat, ekologis serta dipenuhi nilai-nilai integratif.

Organisasi Pecinta Alam mendidik anggotanya untuk menjadi seorang risk-taker. Resiko hanya ada untuk dihadapi dan dikelola dengan baik. Resiko adalah alat untuk maju, resiko adalah stress yang positip, resiko untuk menaikan kesiagaan diri, resiko yang membuat seseorang tetap sadar pada kekinian dan kedisinian ( aktual dan faktual ). Resiko adalah kesempatan, resiko adalah harga yang pantas untuk dibayar
demi kemajuan diri, dan bla bla bla lainnya. Saat lembaga pendidikan meng amputasi pelajaran tentang risk-taking, maka yg muncul adalah para safety-player, yang jumlahnya semakin bejibun di negeri ini.

Para safety player bicara tentang pengamanan diri, seluruh resiko ditiadakan jika perlu. Bahkan bukan hanya dirinya, namun sampai 7 turunan dia amankan. Berdiam di gedung dengan pagar tinggi, dengan sekuriti di gerbangnya, dan tentu saja dengan uang miliaran di depositonya. Lalu siapakah mereka ini ?. Tentu saja para birokrat teknokrat, yang notabene produk lulusan perguruan tinggi, yang saat ini banyak berurusan dengan KPK. Nampaknya mata kuliah “ how to become the safety player” sudah lebih mendarah daging.

Namun segelintir kecil para siswa dan mahasiswa tetap tak setuju dengan pendapat sang profesor. Mereka masih tetap konsisten untuk menjadi “risk taker” sekalipun nyawa yg sering menjadi taruhannya. Mereka ini yang menuruni jurang 500 meter saat pesawat Sukhoi jatuh di gn Salak. Mereka ini yang memunguti ribuan serpihan mayat saat tsunami di Aceh, tanpa mengindahkan belatung maupun kutu mayat. Mereka pula yang memobilisasi penduduk gn Papandayan, ditengah ancaman letusan sang dewa gunung. Dan jangan lupa mereka pula yang membawa kebanggan saat sang Saka Merah Putih ditancapkan di 7 puncak tertinggi di dunia ( the Seven Summit ), yang setidaknya telah dilakukan oleh 2 organisasi Pecinta Alam dan Pendaki Gunung dari Bandung, yaitu Wanadri dan Mahitala Unpar.

Pak profesor yg terhormat, kami lebih mempercayai ungkapan seorang pendahulu kami, yang berujar : “ A person who walk on the ridge burried deep in snow, a person who enter the forest and sleep under the sky on the mountain meadow. Those persons will give their country, the indomitable spirit of the mountain. “ ….. Merekalah para pengembara, yang kelak akan menyumbangkan bagi negaranya “ketangguhan” layaknya sebuah gunung.

Sayang pelajaran tentang resiko dan ketangguhan itu, sekarang kembali harus di amputasi dalam sistem pendidikan kita. Sayang hanya safety player yang diajarkan, yang membuat para birokrat masuk penjara, dan membuat para generasi muda lebih suka bergerombol di mall-mall, hanya untuk memanjakan syahwat dugem serta hedonisme belaka… dan anak-anak negeri ini tak akan pernah kamana mana…!!!

Sekali lagi pak profesor, disinilah mungkin pencabangan jalan harus terjadi. Anda dengan jalan anda, dan kami tetap di jalan yg kami tempuh saat ini.
Jayalah Pecinta Alam Indonesia, negeri tetap menunggu baktimu….

Yat lessie

Wednesday, July 8, 2015

Pengalaman Seorang Kaskuser yang Pernah Tinggal di Negara Kuba



Ada baiknya kita merasakan dulu hidup di negara2 penganut salah satu paham yang paling dilarang di negeri ini. Sebelum berkomentar karena bagaimanapun, pengalaman jelas lebih berbicara. Saya pernah 1 tahun tinggal di Cuba dan Venezuela yang secara garis besar menganut paham politik Komunis Marxisme yg di perjuangkan Fidel dan Che serta Chavez.Di Cuba, segala segi kehidupan di sama ratakan. Semua individu adalah sama. Tidak ada satu orang pun yang hidup berlebihan di banding orang lain. Anda tidak akan menemukan satu keluarga bisa jalan2 ke mall sementara keluarga yg lain nggak bisa. Jika hari ini saya makan daging sapi, sudah pasti tetangga saya pun makan daging sapi (walaupun daging sapi sangat mahal di sana). Otomatis, tidak akan ada satu orang pun yg kelaparan. Selama lebih dari setahun saya tinggal di Cuba, tidak sekalipun saya menjumpai adanya pengemis. Apalagi gelandangan atau homeless people. Semua segi kehidupan terjamin. Walaupun negara ini sangat miskin. Tapi yang perlu diperhatikan adalah, Cuba miskin bukan karena kualitas pemerintahan atau warga negaranya, tapi dikarenakan embargo USA yg melarang dunia untuk melakukan perdagangan dengan Cuba hanya karena Cuba menganut paham politik Komunis yg jelas2 menentang Kapitalisme.Kenapa Cuba diembargo sementara Venezuela tidak? Karena Venezuela punya sumber minyak berlimpah. Nggak mungkin diembargo. Itu kan sumber duit luar biasa.Di Cuba, medical treatment dan education murni sepenuhnya di tanggung negara. Anda nggak akan menemukan kasus orang mati karena nggak punya uang untuk berobat saat dia sakit seperti yg terlalu sering terjadi di negara ini. Anda nggak akan menemukan kasus orang bodoh dan nggak bisa baca tulis cuma karena nggak bisa sekolah karena nggak punya uang seperti di sini.Di Cuba, jika anda sakit dan ada seorang dokter menolak untuk melayani anda, dokter itu akan langsung dijebloskan ke penjara.Saya flu aja langsung telpon ambulance kok saking manjanyaGratis pula.Ada satu hal luar biasa di Cuba. Setiap 6 bulan sekali, pemerintah akan melakukan survey ke setiap rumah2 rakyat untuk mengecek perabotan2 apa saja yg sekiranya sudah dalam kondisi tidak layak pakai sehingga harus diganti. Jika kulkas anda rusak, ya akan diganti dgn yg baru. Gratis!Jika sofa anda sudah sangat tidak layak pakai, ya diganti. Gratis! Dsb, dsb.Nah, satu hal paling penting adalah, kebanyakan dari kita orang Indonesia berpikir bahwa negara Komunis itu identik dgn negara atheis anti Tuhan. SALAH BESAR! Hal ini dikarenakan kasus terburuk sepanjang sejarah Indonesia yaitu G30S-PKI yg menyisakan kebencian luar biasa bangsa ini terhadap paham komunis. Kita nggak pernah sadar bahwa negara kita sudah diacak2 USA dgn CIA-nya cuma gara2 mereka takut Bung Karno akan menjadikan negara sebesar Indonesia menjadi negara anti kapitalis dgn NASAKOMnya.G30S-PKI adalah murni rekayasa CIA yg ingin menjatuhkan Bung Karno yg otomatis akan menggagalkan rencana Bung Karno untuk mensosialiskan Indonesia. Maka dibuatlah sebuah kasus besar dgn tokoh sentral Soeharto sebagai pahlawannya. Kebanyakan orang Indonesia tidak tahu ini. Ironisnya seluruh dunia sudah tahu betul soal ini. Bahkan sudah dibukukan. Buku tentang kebohongan2 Amerika dan CIA beredar luas di luar negri. Dalam salah satu chapternya dibahas tentang rekayasa kudeta partai komunis Indonesia yg ternyata didalangi oleh CIA.Bukti bahwa negara Komunis tidak ada hubungannya dgn paham anti Tuhan saya temukan sendiri di Cuba dan Venezuela.Di Cuba, tempat2 ibadah sangat mudah ditemui. Ada dimana2.Saya muslim dan saya selalu melakukan shalat Jumat berjamaah dgn warga Cuba lainnya. Begitu juga dgn umat Kristianinya. Mereka bebas beribadah dimanapun mereka mau. Hal yg sama juga dialami penganut agama lain.Satu lagi kelebihan dari paham Sosialis Cuba adalah dilarang keras membuat organisasi agama apalagi organisasi politik berbasis agama. Karena pemerintah Cuba sadar betul bahwa organisasi agama hanya akan membuat kotak2 pemisah yg pada akhirnya menimbulkan perpecahan yg dapat menggangu stabilitas negara. Apalagi partai politik berbasis agama. Ini lebih kacau lagi. Mencari kekuasaan dgn kedok agama.Lihat saja apa yg terjadi di negara2 yg paham politiknya berdasarkan agama. Lebanon misalnya. Disana Siah dan Suni jelas selamanya akan selalu ribut. Sementara hukum di Lebanon adalah orang yg menjadi presiden di Lebanon wajib beragama Kristen. Umat Islamnya sibuk ribut berebut kekuasaan, tetep aja nggak dapet apa2. Lucu kan?Atau lihat bukti nyata yg terjadi di negara tercinta ini. Umat Islam ribut dgn umat Islam lain cuma karena beda aliran. Umat Islam ribut dgn umat Kristen gara2 paham kepercayaan. Belum lg ormas berbasis agama yg berbuat sesukanya dan nggak peduli bahwa negara ini punya aturan hukum sendiri.Ini semua karena pergerakan dgn basis agama diizinkan. Akhirnya semua merasa sangat benar dgn kepercayaannya masing2 dan timbul kebencian terhadap pihak2 diluar kelompoknya.Hal2 seperti ini tidak akan anda temui di negara2 sosialis. Tapi tetap pemerintah negara2 sosialis memberikan kemerdakaan bagi setiap rakyatnya untuk memeluk agama apapun dan beribadah sesuai kepercayaannya. Tanpa paksaan, tanpa larangan. Minimal itu yg saya rasakan di Cuba dan Venezuela.Jadi Marxisme yang pada perkembangannya menjadi landasan Komunisme atau Sosialisme tidak ada hubungannya dgn agama. Selama berpuluh2 tahun negeri ini sudah dicekokin doktrin yg salah oleh Amerika cuma karena mereka nggak mau kehilangan sumber uang yg luar biasa besar dari Indonesia. Dan mereka benar2 berhasil merampok negeri ini.Marxisme, Komunisme atau Sosialisme adalah paham politik ekonomi. Paham ekonomi yg menyamaratakan segala hak dan kewajiban dalam setiap segi kehidupan rakyat. Jelas paham ini sangat menguntungkan rakyat, Ane pilih Marxisme gan . Cape denger kata2 pengemis yg bilang udah nggak makan 2 hari. Cape liat jutaan anak putus sekolah karena nggak punya uang. Cape dapet kabar temen satu rumah sakit tempat ade ane cuci darah meninggal karena nggak punya uang buat Hemodialisa.

Komandan Resimen 6 Itu Hilang di Warungbambu

Sehari sebelum gencatan senjata dengan Belanda, komandan Resimen 6 Brigade III Divisi Siliwangi bersama tiga orang bawahannya, melakukan inspeksi ke Cibarusah yang terletak di bagian selatan Bekasi. Namun, setelah keesokan harinya, perwira menengah berusia 24 tahun itu tidak kunjung kembali ke markas. Sejak itu, pencarian dilakukan.
Sekarang, menginjak tahun ke 68, di atas untaian puisi sang maestro Chairil Anwar berjudul Karawang-Bekasi, patung peringatan dengan bintang lima di bagian tengahnya itu masih menyisakan misteri. Ya, tugu itu dibuat untuk mengenang bahwa Letkol Surotokunto bersama tiga stafnya yaitu Major Adel Sofyan, Kopral Muhajar, dan Prajurit Murod, hilang tepat di tempat tugu itu berada tanggal 28 November 1946.
Dalam buku yang berjudul Rengasdengklok, Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945 karya Her Suganda, Mantan Asisten Operasi Dokter Suwardjono Surjaningrat saat masih menjabat Menteri Kesehatan menceritakan, saat itu daerah Karawang dan Bekasi menjadi wilayah militer resimen 4. Daerah yang menjadi pertaruhan Republik Indonesia, karena Belanda masih ingin berkuasa. Melalui kaki tangannya, antara lain laskar-laskar rakyat yang pro Hindia-Belanda dan menolak bergabung dengan Tentara Republik Indonesia (TRI), dengan berbagai cara berusaha merongrong Divisi Siliwangi.
Ia melanjutkan, sehari sebelum dilaksanakan gencatan senjata dengan Belanda, Surotokunto dan stafnya melakukan inspeksi ke daerah Cibarusah yang terletak di bagian selatan Bekasi. Turut serta diantaranya kepala Staf Mayor Adel Sofyan, Kopral Muhayar, dan Prajurit Murod. Saat itu Suwardjono berpangkat Kapten. Namun, setelah dinanti sampai keesokan harinya, Letkol Surotokunto dan stafnya tidak kunjung kembali ke markas. Sejak itu pencarian dilakukan. Akan tetapi, yang dijumpai hanya mobil sedan merk Ford yang digunakannya dengan kunci kontaknya masih tergantung. Kendaraan itu ditinggal begitu saja di sisi jalan raya Warungbambu. Ada dugaan keempatnya telah dihadang dan kemudian dipaksa turun dari kendaraan, lalu diculik entah dibawa kemana.
Buktinya, walau usaha pencarian terus dilakukan, Letkol Surotokunto dan stafnya tidak pernah diketahui keberadaannya. Ia dan tiga stafnya diduga kuat telah dihabisi, namun tidak diketahui dimana tempatnya. Sehingga atas dasar itu, Brigjen (purn) Daan Yahya yang saat peristiwa terjadi menjabat sebagai komandan Resimen III, bersama dengan Jenderal AH Nasution dan enam rekan seperjuangannya memberanikan diri membuat pernyataan, bahwa Letkol Surotokunto dan tiga stafnya telah gugur. Walaupun diakuinya, hanya Tuhanlah yang maha mengetahui nasib mereka. Ada dugaan kuat, sebagai perwira menengah yang dikenal tegas dan berani, Surotokunto tidak mau menyerah dengan begitu saja pada para penculknya. Walaupun ia menyadari nasib yang akan menimpa.
Untuk mengenang peristiwa itu, tepat dimana ditemukan mobil sedan yang pernah ditumpangi Letkol Surotokunto dan stafnya, kemudian didirikan tugu peringatan Surotokunto. Peresmiannya dilakukan KSAD Kol AH Nasution pada Hari Pahlawan tanggal 10 November 1951. Menjelang peringaat HUT Divisi Siliwangi (Kini Komado Daerah Militer III/Siliwangi), pada hari Minggu tanggal 18 Mei 1980 di tempat yang sama dilakukan penggalian tanah sebagai "pemakaman syarat" almarhum Letkol Surotokunto. Dalam suasana khidmat, semua yang hadir terdiam saat beberapa prajurit Siliwangi melakukan penggalian. Tanah galian yang berasal dari tempat hilangnya sang komandan tersebut, kemudian dimakamkan kembali di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung, bertepatan dengan HUT Divisi Siliwangi ke-34. (*)

Tidak Sekolah Karena Buku Terhempas Banjir


Peristiwa ini terjadi tiga tahun silam di kawasan Karawang Selatan, tepatnya di Desa Kutalanggeung, Kecamatan Tegalwaru. Saat itu, banjir meluas di desa yang sebetulnya lokasinya berada di wilayah cukup tinggi.

Rino (11) salah seorang siswa SD Kutalanggeung, terpaksa tidak sekolah karena seluruh baju dan buku yang ia miliki terhempas banjir akibat meluapnya Sungai Cicangor, Senin (16/2) malam. Kini, ia hanya bisa meratapi buku-buku basah yang berhasil ia selamatkan ketika banjir melanda, dan berharap dalam waktu dekat semua buku-buku maupun seragam sekolah bisa ia miliki kembali.
Malam itu, mungkin menjadi malam yang tidak bisa dilupakan oleh Rino. Bocah yang kini masih duduk di bangku kelas enam, mengaku ketika kejadian ia sedang berada di dalam rumah mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR). Namun sayang, ketika menyurusi lorong-lorong ilmu pengetahuan, banjir bandang menghempaskan seluruh isi rumah beserta buku-buku yang ia baca. Seketika itu, yang ia ingat hanya menyelamatkan buku PR yang sedang diisi, sebagai laporan kepada Guru bahwa ia bukan siswa pemalas. Namun naas, ia tidak berhasil menyelamatkan buku tersebut, karena banjir bandang yang disertai lumpur membuat bukunya kotor dan basah.
Meski Rino bukan satu-satunya bocah di Desa Kutalanggeung Kecamatan Tegalwaru yang merasakan ganasnya terjangan Sungai Cicangor, namun dari sekian puluh anak yang menjadi korban banjir, mungkin hanya ia yang mengumpulkan buku-buku basah miliknya untuk dijemur. Meskipun ketika kering, catatan yang ia tulis selama satu semester tidak bisa kembali dibaca karena rusak. Buku-buku pelajaran sekolah yang ia jemur beralasakan tikar di atas batu koral, tidak pernah luput dari pantauannya. Sejak matahari baru muncul di ufuk timur, ia sudah menyiapkan tikar dan buku-buku basah yang ia selamatkan ketika banjir. Dengan harapan, ketika kering buku tersebut bisa kembali ia gunakan. "Saya sedih, buku pelajaran basah semua. Mudah-mudahan setelah dijemur, buku ini bisa kembali digunakan dan saya bisa kembali bersekolah," tuturnya.
Meski harus merasakan bencana yang begitu dasyatnya di umur yang begitu muda, Rino mengaku hal itu tidak membuatnya takut. Bahkan ia mengatakan, besok akan pergi ke sekolah. "Kalau rumah sudah dibersihkan, saya akan ke sekolah lagi. Karena kalau enggak ke sekolah nanti takut enggak lulus," katanya.
Ketika disinggung bagaimana kalau bukunya tidak bisa digunakan lagi, Rino berharap orang tuanya bisa membelikan buku yang baru. Meski demikian, ia tetap bersikukuh kalau bukunya masih bisa digunakan. "Tinggal nunggu kering aja, nanti juga bisa digunakan," tandasnya.  (*)

Orangtua dan Guru

JENIS pendidikan yang baik dimulai dengan pendidik, yang harus memahami dirinya sendiri dan bebas dari pola pikir buatan; untuk menjadi pendidik yang bagaimana, pola pikir yang ia berikan. Apabila ia tidak dididik dengan benar, apa yang dapat ia ajarkan kecuali pengetahuan mekanis yang sama dengan apa yang mendidiknya? Maka dari itu, masalahnya adalah bukan anak, namun orang tua dan guru; masalahnya adalah mendidik pendidik.

Apabila kita sebagai pendidik tidak memahami diri kita sendiri, apabila kita tidak memahami hubungan kita dengan anak namun hanya sekedar menjejali anak tersebut dengan informasi dan membuatnya lulus ujian, bagaimana mungkin kita dapat menghasilkan jenis pendidikan yang baru? Murid adalah untuk dipandu dan dibantu; namun apabila pemandu, pembantu itu sendiri bingung dan dangkal, bersifat nasionalistik dan bergantung pada teori, maka secara alami murid tersebut akan menjadi orang biasa, dan pendidikan menjadi sebuah sumber kebingungan dan percekcokan yang lebih dalam.

Apabila kita melihat kebenaran dari hal ini, kita akan menyadari seberapa penting kita mulai mendidik diri kita sendiri dengan benar. Khawatir tentang ‘mendidik ulang diri kita sendiri’ adalah jauh lebih penting daripada khawatir
tentang kesejahteraan masa depan dan keamanan anak.
Mendidik pendidik – yakni, agar membuat dirinya memahami diri sendiri – adalah salah satu usaha yang paling sulit, karena hampir semua orang telah dihablurkan di dalam sebuah sistem pemikiran atau pola tindakan; kita telah menyerahkan diri kita sendiri kepada ideologi tertentu, sebuah agama, atau kepada sebuah standar tingkah laku tertentu. Itulah mengapa kita mengajari anak tentang apa yang harus dipikirkan dan bukan tentang bagaimana cara berpikir.

Selain itu, orang tua dan guru sebagian besar disibukkan dengan konflik dan kesedihan. Kaya atau miskin, hampir semua orang tua terhanyut di dalam kekhawatiran dan kesengsaraan. Mereka tidak sungguh-sungguh khawatir tentang penurunan moral dan sosial yang terjadi saat ini, namun hanya menginginkan anak-anak mereka ‘diperalati’ agar sukses di dunia ini. Mereka cemas terhadap masa depan anak-anak mereka, ingin sekali anak-anak mereka terdidik agar memegang jabatan-jabatan yang aman, atau agar menikah dengan bahagia.

Berlawanan dengan apa yang dipercaya oleh kebanyakan orang, hampir semua orang tua tidak menyayangi anak-anak mereka, meskipun mereka berkata bahwa mereka menyayanginya. Apabila orang tua benar-benar menyayangi anak-anaknya, maka tidak akan ada penekanan yang terletak pada keluarga dan bangsa sebagai kebalikan dari kesatuan (whole), yang menciptakan pembagian-pembagian sosial dan ras di antara manusia dan menimbulkan perang dan kelaparan. Merupakan hal yang sangat luar biasa bahwa, ketika orang-orang dilatih sekeras-kerasnya agar menjadi pengacara atau dokter, tetapi mereka dapat menjadi orang tua tanpa harus menjalani pelatihan apa pun agar dapat bisa menjalankan tugas orang tua yang penting ini.

Lebih sering daripada tidak, keluarga, dengan tujuan-tujuan yang terpisah, mendorong adanya proses isolasi total, dengan demikian menjadi sebuah faktor yang merosot di dalam masyarakat. Hanya ketika ada cinta dan pengertian, maka dinding-dinding isolasi dapat dirobohkan, lalu keluarga tidak lagi menjadi sebuah sirklus yang tertutup, seseorang pun bukan tahanan atau pun pengungsi; maka orang tua berada di dalam kerukunan, tidak hanya dengan anak-anak mereka, tetapi juga dengan tetangganya.

Terhanyut di dalam masalah mereka sendiri, banyak orang tua mengalihkan tanggung jawab atas kesejahteraan anak-anaknya kepada guru; dan merupakan hal yang penting bahwa pendidik juga perlu membantu pendidikan orang tua. Pendidik harus berbicara kepada orang tua, menjelaskan bahwa keadaan dunia yang bingung mencerminkan kebingungan orang tua itu sendiri.

Pendidik harus menjelaskan bahwa kemajuan ilmiah tidak akan menghasilkan sebuah perubahan radikal terhadap nilai-nilai yang ada; bahwa pelatihan teknis, yang kini disebut sebagai pendidikan, belum memberikan kebebasan kepada manusia atau membuat manusia lebih bahagia; dan bahwa mengkondisikan murid agar menerima lingkungan yang ada tidaklah aman bagi kecerdasan mereka. Pendidik harus memberitahukan kepada orang tua apa yang sedang ia upayakan untuk anak mereka, dan bagaimana ia mengaturnya. Pendidik harus membangun kepercayaan orang tua, tidak dengan menggunakan wewenang seperti seorang spesialis yang berurusan dengan orang awam yang bodoh, namun dengan membicarakan temperamen, kesulitan, bakat anak, dan seterusnya.

Apabila guru mengambil minat nyata terhadap anak sebagai seorang individu, maka orang tua akan memiliki kepercayaan terhadap guru tersebut. Dalam proses ini, guru mendidik orang tua sebagai guru itu sendiri, sekaligus belajar dari orang tua tersebut. Pendidikan yang benar adalah sebuah tugas mutual yang menuntut kesabaran, pertimbangan dan kasih sayang. (*)

Tuesday, July 7, 2015

Revolusi Memakan Anak Kandungnya Sendiri (bagian 2)


Wikana adalah tokoh yang paling tidak dikenal dalam sejarah Indonesia. Padahal pada peristiwa pencetusan Proklamasi 1945 peran beliau yang paling penting karena berkat koneksinya di Angkatan Laut Jepang atau Kaigun, Proklamasi 1945 bisa dirumuskan di rumah dinas Laksamana Maeda di Menteng yang terjamin keamanannya. Lalu Wikana mengatur semua keperluan Pembacaan Proklamasi di rumah Bung Karno di Pegangsaan, ia juga tegang saat melihat Bung Karno sakit malaria pagi hari menjelang detik-detik pembacaan Proklamasi. Wikana kasak kusuk ke kalangan militer Jepang untuk tidak mengganggu jalannya upacara pembacaan teks proklamasi. Setelah kemerdekaan jalan hidup Wikana sangat rumit, ia dianggap terlibat peristiwa Madiun 1948, namun berhasil lepas dari kejaran tentara. Bersama dengan pejuang-pejuang dari Nasionalis sayap kiri ia menghilang dan baru kembali setelah DN Aidit melakukan pledoi terhadap kasus Madiun 1948 yang mulai digugat oleh Jaksa Dali Mutiara pada 2 februari 1955. Namun revitalisasi PKI ditangan DN Aidit membuat Wikana tersingkir dan dianggap bagian dari golongan tua yang tidak progresif, ini sama saja dengan kasus penyingkiran kaum komunis ex Digulis oleh anak-anak muda PKI, karena tidak sesuai dengan perkembangan perjuangan komunis yang lebih Nasionalis dan mendekat pada Bung Karno. Terakhir Wikana tinggal di daerah Simpangan Matraman Plantsoen dalam keadaan miskin dan sengsara karena tidak mendapat tempat di PKI dan diisolir oleh Aidit. Beruntung Waperdam Chaerul Saleh pada tahun 1965 menarik Wikana menjadi anggota MPRS. Pada saat penangkapan-penangkapan setelah kejadian GESTAPU, Wikana hilang begitu saja. Sampai sekarang tidak jelas juntrungannya.

Lalu bagaimana dengan Hatta?, Hatta menjadi Wakil Presiden dan dilantik bersama Bung Karno. Hatta memiliki peran besar pada revolusi bersenjata 1945-1949 karena Bung Karno tidak disukai Belanda sangat membenci Bung Karno, dan dianggap Bung Karno tak lebih dari Quisling, tokoh kolaborator Norwegia yang berkhianat dan membantu Nazi, Bung Karno dianggap membantu rezim fasis Jepang selama pendudukan militer Jepang 1942-1945 namun Hatta dan Sjahrir disukai Ratu Belanda karena itulah kedua tokoh ini yang paling sering berunding dengan Belanda. Hatta melakukan restrukturisasi partai-partai politik dan militer. Restrukturisasi militer Hatta memiliki dampak paling luas terhadap perkembangan sejarah Indonesia, terutama sekali berjaraknya militer rasional ciptaan Hatta-AH Nasution dengan sentimentalisme patriotik Sukarno. Selain itu restrukturisasi militer Hatta memunculkan peristiwa politik paling kontroversial sepanjang era revolusi kemerdekaan, peristiwa Madiun 1948. Orang-orang komunis menuduh Hatta terlibat pada perjanjian rahasia red drive proposal antara pemerintah AS dengan RI untuk membendung komunisme di Indonesia, dengan imbalan AS akan mendukung perjuangan diplomatik Indonesia baik di PBB maupun forum-forum perundingan dengan Belanda. Red Drive Proposal ini dianggap sebagai awal mula munculnya peristiwa Madiun yang berakibat dibunuhnya tokoh-tokoh politik penting dari garis kiri seperti : Amir Sjarifudin, Musso, Suripno dll.

Setelah penghancuran PKI dan Front Demokrasi Rakyat, karir politik Hatta semakin cemerlang ia dipercaya pemerintah RI menjadi penandatangan perjanjian KMB 1949 dan pengakuan kedaulatan RI atas Indonesia 27 Desember 1949. lalu Hatta dengan baik mengatur formasi kabinet, bersama dengan Sri Sultan HB IX, Hatta memodernisir TNI. Setelah Pemilu 1955, karir politik Hatta menurun, ini berbanding terbalik dengan karir politik Bung Karno yang menanjak ditunjang mulai kuatnya PKI revitalisasi Aidit 1954 dan mulai mendapatnya dukungan militer terhadap Bung Karno seiring tidak puasnya kerja parlementer. Hatta menolak konsep-konsep politik Bung Karno, lalu hubungan itu merengang, pada tahun 1956 Hatta mengundurkan diri, awalnya Bung Karno menolak pengunduran diri Hatta, tapi akhirnya ia menandatangani surat pengunduran diri Hatta. Mundurnya Hatta membuat kecewa banyak perwira militer non Jawa yang notabene juga anti PKI. Protes terhebat adalah ketika PRRI mengultimatum agar Dwitunggal Sukarno-Hatta kembali lagi dan pemerintah Jakarta jangan sampai jatuh ke tangan komunis, atau pemberontakan pecah. Akhirnya pemberontakan PRRI pecah diikuti dengan gerakan Permesta. Kolonel Ahmad Yani yang menyelesaikan kasus PRRI dengan operasi 17 Agustus-nya. Praktis setelah PRRI nama Hatta hilang dari peredaran, ia hanya disebut dalam upacara proklamasi sebagai ko-proklamator. Nasibnya sebagai ko-proklamator menyelamatkan nasibnya karena dengan itu rezim Sukarno tidak berani menjebloskan Hatta ke penjara, ini berbeda dengan nasib Sjahrir. Konon kabar yang beredar dari versi buku-buku sejarah (Versi PKI terlibat dalam Gestapu) Hatta dimasukkan ke dalam tokoh yang harus dibunuh pada malam jahanam 30 September 1965. Namun DN Aidit menolak Hatta dijadikan sasaran pembunuhan. Mungkin Aidit sungkan pada Hatta, walaupun Aidit pernah mendakwa habis-habisan Hatta pada pengadilan kasus Madiun tahun 1955. Hatta tetap dipandang sebagai guru politiknya, karena Hatta sering mengajar anak-anak muda pergerakan pada Markas Pemuda Menteng 61.

Setelah PKI dihancurkan oleh Orde Baru dan Bung Karno digerogoti karir politiknya pelan-pelan. Hatta sempat dimunculkan sebagai calon kuat Presiden RI, bersama dengan AH Nasution. Tapi Hatta tetap menolak sebelum kasus G 30 S jelas, ia bahkan menantang Junta Militer Orde Baru untuk membawa Sukarno ke pengadilan agar peristiwa ini jelas dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Mental Hatta adalah mental khas didikan Belanda, yang menempatkan hukum diatas segalanya. Bersama Deliar Noer Hatta ingin mendirikan PDII (Partai Demokrasi Islam Indonesia) tapi ijin pendirian ditolak Orde Baru. Ketika kekuasaan Suharto mulai mapan setelah peristiwa Malari 1974 menyusul ditangkapinya tokoh-tokoh PSI dan aktivis mahasiswa, muncul kasus aneh Sawito Kartowibowo, eks pegawai Departemen Pertanian yang mengeluarkan dokumen ‘Menuju Keselamatan’ dimana dia mendapat wangsit membenahi Indonesia. Dalam dokumen itu Sawito mengkritik habis-habisan Suharto dan keluarganya, kritik itu disetujui oleh banyak tokoh nasional termasuk Hatta dan Hamka yang menandatangani persetujuannya terhadap isi dokumen itu. Dalam dokumen itu juga Sawito menunjuk Hatta sebagai tokoh yang harus menggantikan Suharto sebagai Presiden RI demi keselamatan bangsa Indonesia. Suharto marah bukan main, kasus Sawito dihantam habis-habisan, tapi kemujuran Hatta terhadap bencana politik lagi-lagi terjadi, Suharto tidak berani menyentuh Hatta. Tahun 1980 Hatta meninggal dan Iwan Fals menciptakan lagu yang sampai saat ini masih banyak dihapal oleh generasi muda Indonesia, lagu itu berjudul ‘Hatta’. Bait dalam lagu itu yang menakutkan rezim Suharto adalah : “Terbayang nama seorang sahabat yang tak pernah lepas dari namamu” nama yang dimaksud itu adalah : Sukarno.

Sukarno juga yang menjodohkan Hatta dengan Rachmi Hatta, Hatta bersumpah menolak menikah sebelum Indonesia merdeka. Sumpah ini merupakan reaksi terhadap November Belofte 1918, dimana pemerintah Hindia Belanda menjanjikan kemerdekaan Indonesia pada tahun itu. Pernikahan Hatta sekaligus legitimasi pribadinya terhadap Proklamasi 1945. Beda dengan Sjahrir dan Tan Malaka yang masih ragu pada proklamasi 1945 sebelum melihat dukungan rakyat.

Banyak orang mengenang Hatta sebagai pribadi yang disiplin waktu, gila buku, memiliki humor kering bahkan Bung Karno pernah mengejek Hatta seba
gai pribadi yang membosankan, bukan seperti dirinya yang womanizer dan gampang buat suasana meriah. Tapi dari semua yang dikenang akan pribadi Hatta adalah kesederhanaan, baik kesederhanaan hidup maupun kesederhanaan hati. Anaknya Meutia Hatta baru tahu bahwa Bapaknya pernah menjabat sebagai Wakil Presiden RI, setelah ia diajari sejarah Indonesia di sekolah waktu SD. Sepulang dari sekolah dia bertanya “ Papa, dulu pernah jadi wapres RI, ya? Saya tahu dari guru sekolah” hal ini bisa digambarkan betapa tidak melebih-lebihkan Hatta pada peran sejarah, sampai anaknya sendiri tidak pernah tahu apa yang dilakukannya untuk negara. Hatta dikenal tokoh yang anti korupsi, dia pernah ditugasi oleh Suharto memberantas Korupsi lewat komisi GAK (Gerakan Anti Korupsi) –macam KPK jaman sekarang - saking bersihnya dan hati-hati dalam mencari harta, ia menjadi sangat miskin secara keuangan. Bayar listrik saja sudah berat, uangnya hanya dari uang pensiun Wapres yang nilainya nggak seberapa. Mendengar Hatta kesulitan bayar uang listrik dan air, Ali Sadikin gubernur Jakarta pada waktu itu membebaskan Hatta untuk membayar listrik dan air PAM. Keinginan Hatta yang tidak keturutan saat usia senjanya ialah membeli sepatu Bally dari kulit hitam.

Hatta tidak mau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata. Karena disitu ada koruptor Pertamina baru saja dimakamkan Haji Taher- yang harta korupnya jadi rebutan antara pemerintah RI dengan keluarganya, pemerintah RI diwakili LB Moerdani -, dan menurut Hatta banyak koruptor lain dimakamkan disana, ia tidak mau bergabung bersama Koruptor. Hatta ingin dimakamkan dekat dengan rakyat di Tanah Kusir, Jakarta. Kota dimana ia memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Monday, July 6, 2015

Seputar Pembunuhan Besar-besaran di Rawagede (bagian 1)


Hari itu, Selasa, 9 Desember 1947, pukul 04.00 WIB, ratusan pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Alphons Wijman, mengeledah rumah warga Desa Rawagede.
Mayor Wijman mendengar bahwa Lukas berada di Desa Rawagede, Karawang, Jawa Barat. Desa ini—kini berubah nama menjadi Balongsari—terletak di Kecamatan Rawamerta, Kabupaten Karawang, sekitar 15 kilometer arah timur laut dari ibu kota Kabupaten. Rumah-rumah digeledah, namun yang dicari tidak ada. Pasukan Mayor Wijman memerintahkan penduduk laki-laki berkumpul di tanah lapang untuk ditanya mengenai keberadaan Lukas. Karena tak satu pun penduduk yang memberitahu di mana Lukas, Wijman memerintahkan pasukannya menembak. Lasmi, 83 tahun, menuturkan, ia mendengar para lelaki itu berjejer. “Lalu terdengar tekdung, tekdung, bunyi senapan dikokang, kemudian ditembakkan.”
Lasmi melihat suaminya mati terkapar dengan peluru bersarang di leher. Ini membuat kandungannya yang berumur tujuh bulan keguguran. Setelah itu, Lasmi menden
gar tembakan mortir. Woss...jegur. Saat itu, para perempuan memilih tiarap di tempat tidur. “Rame pisan tembakan. Canon--mortir ya, kata yang tau canon--mortir. Wos-wos..., dari atas. Jegor!” begitu ujar Cawi binti Baisan, janda korban Rawagede yang saat itu berumur 22 tahun.
Ada enam kali tembakan mortir. Menurut laporan Wijman, 12 kiriman mortir itu membakar delapan sampai 10 rumah. Wijnen juga menyebut, saat ia menyerang, nyaris tiada perlawanan. Tembakan mortirnya cuma sempat dibalas sekelompok pria tanpa seragam satu-dua kali dengan karabin. Halangan utama pasukannya yang tengah mengarah ke barat justru tanah berlumpur yang licin. Wijman mengatakan pasukannya hanya berkekuatan 90 personel, diperkuat dengan 2 mortir kaliber 2. Oleh Wijman, pasukan dibagi menjadi tiga grup. Masing-masing berkekuatan 30 orang. Rawagede dikepung dari tiga jurusan: utara, timur, dan selatan.
Pasukan utara dipimpin dua sersannya. Pasukan itu diperkuat satu bren. Pasukan selatan dipimpin seorang sersan mayor. Mereka juga dibekali satu bren. Wijman sendiri memimpin kelompok yang bertugas mengepung kampung dari arah timur. Dibantu dua perwira, grupnya diperkuat sten dan 2 mortir 2. Seluruh operasi itu selesai pukul 13.00. Namun versi lain dari Sukarman, Ketua Yayasan Rawagede, operasi itu berlangsung hingga pukul 16.00. Cawi, 84 tahun, janda korban pembantaian malah berkukuh tragedi itu terjadi menjelang magrib. Ia mengaku keluar pukul 17.00 WIB bersama perempuan-perempuan lainnya mencari suami dan orang tua mereka yang sudah ditemukan bergelimpangan di rumah dan jalanan. Cawi tak mengetahui bagaimana suami dan tetangganya dieksekusi. Ia--seperti para perempuan lainnya--bersembunyi di dalam rumah. Adapun para pria memilih kabur ke luar kampung atau bersembunyi di sungai atau di kolam, seperti Siot, ayah Kadun. Kadun saat itu berusia 10 tahun. Ia melihat bagaimana ayahnya bersembunyi di sungai dekat rumah. “Mukanya diurugin (ditutup) sampah. Tak terlihat oleh Belanda,” ujarnya.
"Tapi Belanda bawa anjing dan anjing itu menggonggong terus. Lama-lama, tempat sembunyi ayah disogok-sogok bayonet," kata Kadun. Ayah Kadun akhirnya muncul dari tumpukan sampah. "Ia dibawa Belanda. Sejak itu, ia tak pernah kembali."
Menurut Sukarman, Belanda melakukan eksekusi dalam kelompok-kelompok kecil, terdiri dari setiap lelaki yang berumur di atas 14 tahun. Masing-masing kelompok terdiri dari 10-30 orang. "Masing-masing kelompok warga yang dikumpulkan oleh pasukan Belanda saat itu tidak saling mengetahui kalau telah terjadi pembantaian. Karena mereka dikumpulkan secara terpisah," ujarnya.
Menurut data Yayasan Rawagede, jumlah warga yang menjadi korban sekitar 431 korban. Tapi, menurut Wijnen, pihaknya cuma menembak mati 150 orang. Penembakan itu bukan tanpa sebab. "Sangat mungkin, karena terprovokasi pihak lain, sejumlah yang tak bersalah jadi korban."
Apa yang terjadi Selasa pagi itu membuat Rawagede bersimbah darah. “Kali Rawagede merah oleh darah. Mayat bergelimpangan,” kata Kadun. “Di mana-mana menangis, meratap, dan meratap.”
Sepanjang tiga hari setelah peristiwa pembantaian itu, kata Kadun, para ibu di Rawagede mencari suami dan anak lelaki mereka. Sejak itu, tak ada lagi lelaki di kampung itu. Mereka—para perempuan itu—bahu-membahu menggotong dan mengubur jenazah.
Dengan alat seadanya—cangkul, golok, dan sendok semen—ibu-ibu itu menggali lubang sedalam sekitar satu meter untuk mengubur jenazah di pekarangan rumah masing-masing. Sejak operasi itu, Rawagede tak sama lagi. Cuma dalam 6 jam (versi Belanda) atau 12 jam (versi keluarga korban), Rawagede menjadi kampung janda. Baru bertahun-tahun kemudian, kampung itu kembali memiliki lelaki dewasa. (*)

Pembantaian di Lumbung Padi Dimulai Tahun 1968



Tanggal 30 September tidak akan pernah lepas dari ingatan peristiwa paling berdarah di negeri ini. Tidak pelak jutaan orang tewas dan diasingkan karena dianggap terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Satu diantara yang mengalami masa-masa pahit saat itu ialah pemuda asal Kecamatan Pedes, Sarkom (75).
Sarkom yang saat itu masih berusia 19 tahun, harus mengalami pahitnya masa pembuangan di Pulau Buru selama sembilan tahun. Bersama Pramoedya Ananta Toer dan beberapa orang yang dianggap terlibat dalam partai serta organisasi berhaluan kiri, Sarkom juga terpaksa menelan kebingungan karena peristiwa yang hingga kini masih misteri tersebut melemparnya ke negeri antah berantah.
Sarkom bercerita, ia yang saat itu terlibat aktif dalam Organisasi Pemuda Rakyat dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Paska pembunuhan tujuh Jendral ia dan orang-orang yang aktif dalam partai dan organisasi pemuda, dipanggil oleh Subdempom Karawang tanggal 6 Desember 1965, lalu tanpa melalui persidangan ia dijebloskan ke dalam penjara, setelah itu pada bulan Maret 1966 dipindahkan ke Kebon Waru Bandung selama tiga tahun. Setelah itu, pada tanggal 1 Juli 1969 dipindahkan ke Nusakambangan selama 16 hari, lalu diasingkan ke Pulau Buru 16 Juli 1969 selama sembilan tahun.
Dalam ingatannya yang masih tajam ia mengatakan, dirinya dituduh terlibat dalam pembunuhan tujuh jenderal karena aktif di organisasi Pemuda Rakyat. "Kita dituduh terlibat, padahal semua eksponen partai sama sekali tidak tahu mengenai peristiwa itu. Saya sendiri tahu ada peristiwa 30 S dari Danramil yang kebetulan tetangga," ujarnya.
"Pada waktu itu, karena saya masih anak remaja yang sedang bergelora, bersama dengan seorang teman, siang hari kami menyanyikan lagu 'Mars Sukarelawan'. Lalu Danramil bicara, "jangan enak-enak nyawa kamu sudah diujung senjata". Dari situ saya tahu ada kejadian di Jakarta. Namun semua orang kebingungan, ketika saya di dalam tahanan pun, jangankan saya sebagai anggota biasa dari unsur pemuda, orang-orang partai pun kebingungan, semua tidak tahu apa yang terjadi, dan tidak ada yang mau menanyakan peristiwa yang sebenarnya terjadi di Jakarta," tuturnya.
Pada awal peristiwa 30 September di Karawang hanya terjadi satu kali pembunuhan, yaitu terjadi pada Ketua Barisan Tani Karawang (BTI) Irlam. "Waktu itu bulan Oktober dibunuh di Bunder Kecamatan pedes, kalau sekarang masuk Kecamatan Cibuaya. Setelah Oktober 1965, tragedi kemanusiaan di Karawang justru terjadi pada awal tahun 1968, ketika Panglima Kodam di Jawa barat diganti dari Ibrahim oleh Darsono," tuturnya.
Berbeda dengan daerah lainnya, pembantaian orang-orang yang dianggap berhaluan kiri di Kabupaten Karawang justru terjadi tahun 1968. Sarkom yang dulu aktif dalam Organisasi Pemuda Rakyat dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) mengungkapkan, hal itu disebabkan ketika peristiwa 30 September 1965 orang-orang eksponen Partai Komunis Indonesia (PKI) di Karawang, sebagian sudah ada yang dipenjara di Subdenpom Karawang, dan sebagian lagi diasingkan ke kantor desa dan kecamatan.
"Dari tahun 1965 sampai 1968, di Karawang cuma terjadi pengrusakan dan pembakaran rumah oleh massa. Baru setelah Panglima Kodam Jawa Barat diganti oleh orangnya Nasution, orang-orang Karawang yang terlibat dalam partai dibantai. Bahkan pembataian yang dilakukan sangat tidak manusiawi," ungkapnya.
Sarkom yang saat kejadian mendekam di Rutan Kebon Waru, mengetahui pembantaian dari seorang kawan yang melihat peristiwa tersebut. Sebelum dihabisi, banyak yang disiksa terlebih dahulu, seperti salah satu organ tubuhnya dipotong dan diarak-arak. Menurutnya, pada saat terjadi pembantaian tersebut banyak orang-orang PKI yang kebingungan. Sebab ketika dijebloskan ke dalam penjara, tidak ada yang diberitahu penyebab dari permasalahan yang terjadi. "Kami dipukuli, disiksa secara tidak wajar agar kami mengakui perbuatan yang tidak kami lakukan sama sekali," ungkapnya.
Ia melanjutkan, memang sebelum tanggal 30 September 1965, Pemuda Rakyat dilatih di Lubang Buaya. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah, apabila pemimpin partai ingin menghabisi para jenderal, kenapa harus di tempat dimana para simpatisan Komunis sebelumnya berlatih ketarunaan. "Sangat bodoh apabila pemimpin partai menculik dan membunuh para jenderal di tempat bekas latihan para eksponen partai," tuturnya.
Pada saat latihan di Lubang Buaya, menurutnya idak seorangpun orang partai yang melatih Pemuda Rakyat, bahkan semua orang yang ada di Lubang Buaya selain Pemuda rakyat adalah tentara. "Kami disana dilatih oleh tentara, dan saya pun ketika mau pulang ke Karawang diberi ongkos oleh tentara bukan orang sipil," katanya.
Hingga kini Sarkom masih bertanya-tanya, apakah pada saat penculikan Jenderal Nasution itu lepas atau sengaja dilepaskan oleh pelaku, dan apakah Ade Irma Nasution terbunuh atau sengaja dibunuh. "Hal inilah yang terus menjadi pertanyaan saya sampai saat ini. Sebab pada waktu itu, orang yang paling dibenci PKI adalah Nasution," tuturnya.
Pelurusan sejarah memang mutlak dilakukan, agar negeri ini tidak terus menerus terbelenggu oleh paradigma salah tentang peristiwa 30 September. Sebab, tudingan yang tidak mendasar selama ini disematkan kepada paham yang sebetulnya berada diposisi partai yang kalah perang dalam pergolakan politik '65. (*)

Kujang Senjata Khas Tanah Sunda


KUJANG, dalam kehidupan masyarakat sunda senjata ini memang tidak dapat dipisahkan sebagai bagian dari budaya leluhur. Awalnya fungsinya sebagai peralatan pertanian. Namun, seiring perkembangan jaman kujang mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral.

Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12. Sejak sirnanya Kerajaan Pajajaran sampai sekarang, kujang masih banyak dimiliki oleh masyarakat Sunda, yang fungsinya hanya sebagai benda obsolete tergolong benda sejarah sebagai wahana nostalgia dan kesetiaan kepada keberadaan leluhur Sunda pada masa jayanya Pajajaran, di samping yang tersimpan di museum-museum. Beberapa peneliti menyatakan bahwa istilah Kujang berasal dari kata Kudihyang dengan akar kata Kudi dan Hyang.
Kudi diambil dari bahasa SundaKuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindaribahaya/penyakit. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atautempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur(Hazeu, 1904 : 405-406)
Sedangkan Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”. Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan.
Kujang sangat identik dengan Sunda Pajajaran masa silam. Sebab, alat ini berupa salah sastu aspek identitas eksistensi budaya Sunda kala itu. Namun, dari telusuran kisah keberadaannya tadi, sampai sekarang belum ditemukan sumber sejarah yang mampu memberitakan secara jelas dan rinci. Satu-satunya sumber berita yang dapat dijadikan pegangan (sementara) yaitu lakon-lakon pantun. Sebab dalam lakon-lakon pantun itulah kujang banyak disebut-sebut. Di antara kisah-kisah pantun yang terhitung masih lengkap memberitakan kujang, yaitu pantun (khas) Bogor sumber Gunung Kendeng sebaran Aki Uyut Baju Rambeng. Pantun Bogor ini sampai akhir abad ke-19 hanya dikenal oleh warga masyarakat Bogor marginal (pinggiran), yaitu masyarakat pedesaan. Mulai dikenalnya oleh kalangan intelektual, setelahnya tahun 1906 C.M. Pleyte (seorang Belanda yang besar perhatiannya kepada sejarah Pajajaran) melahirkan buku berjudul Moending Laja Di Koesoemah, berupa catatan pribadinya hasil mendengar langsung dari tuturan juru pantun di daerah Bogor sebelah Barat dan sekitarnya.
Pemberitaan tentang kujang selalu terselip hampir dalam setiap lakon dan setiap episode kisah serial Pantun Bogor, baik fungsi, jenis, dan bentuk, para figur pemakainya sampai kepada bagaimana cara menggunakannya. Malah ungkapan-ungkapan konotatif yang memakai kujang-pun tidak sedikit. Contoh kalimat gambaran dua orang berwajah kembar; “Badis pinang nu munggaran, rua kujang sapaneupaan” atau melukiskan seorang wanita; “Mayang lenjang badis kujang, tembong pamor tembong eluk tembong combong di ganjana” dsb. Demikian pula bendera Pajajaran yang berwarna “hitam putih” juga diberitakan bersulamkan gambar kujang “Umbul-umbul Pajajaran hideung sawaréh bodas sawaréh disulaman kujang jeung pakujajar nu lalayanan”.
Selain keberadaan kujang seperti itu, di kawasan Jawa Barat dan Banten masih ada komunitas yang masih akrab dengan kujang dalam pranata hidupnya sehari-hari, yaitu masyarakat Sunda “Pancer Pangawinan” (tersebar di wilayah Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak – Provinsi Banten, Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor dan di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi – Provinsi Jawa Barat). Dan masyarakat “Sunda Wiwitan Urang Kanékés” (Baduy) di Kabupaten Lebak – Provinsi Banten. Dalam lingkungan budaya hidup mereka, tiap setahun sekali kujang selalu digunakan pada upacara “Nyacar” (menebangi pepohonan untuk lahan ladang). Patokan pelaksanaannya yaitu terpatri dalam ungkapan “Unggah Kidang Turun Kujang”, artinya jika bintang Kidang telah muncul di ufuk Timur di kala subuh, pertanda musim “Nyacar” sudah tiba, kujang (Kujang Pamangkas) masanya digunakan sebagai pembuka kegiatan “Ngahuma” (berladang).
Menurut banyak kalangan, Kujang dikenal memiliki keampuhan yang luar biasa. Konon, setiap senjata Kujang, dipastikan berisi khadam-khadam tertentu. Bahkan tidak sedikit orang-orang pintar, yang sengaja mengisi senjata Kujang dengan kekuatan-kekuatan magis. Sehingga Kujang bukan saja menjadi senjata tajam yang mematikan, namun juga memiliki kekuatan dahsyat yang tidak kasat mata. Salah satu kedahsyatan Kujang yang menjadi legenda adalah Kujang Pangarang Kinasihan.
Seperti halnya Kujang pasca abad ke-9, wujud Kujang Pangarang Kinasihan lebih mengarah pada bentuk aslinya, dimana kerap dipergunakan orang pada abad ke-4. Yakni berbentuk lurus panjang dengan sedikit berluk, seperti keris. Konon, bentuk seperti ini adalah wujud asli Kujang. Selain itu, keasliannya bisa dilihat dari tanda bunga melati atau bunga tanjung pada bagian batangnya. (*)

Sanggabuana Ditelantarkan Tiga Kesatuan Pemangku Hutan


Kerusakan parah yang terjadi di puncak gunung Sanggabuana seolah dibiarkan tiga Kesatuan Pemangku Hutan (KPH), yang bertanggung jawab atas keberadaan gunung berketinggian 1.291 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut.
Disebutkan aktivis lingkungan Oepas Korak, Ahmad, berada di tiga wilayah kawasan hutan KPH Purwakarta, KPH Bogor, dan KPH Cianjur, ternyata tidak membuat puncak gunung Sanggabuana terjaga baik, bahkan terkesan ditelantarkan. Padahal, kelestarian gunung tersebut sangat diandalkan untuk mencukupi kebutuhan hidup masyarakat yang tinggal di kaki gunung seperti masyarakat Kampung Jayanti, Desa Mekarbuana, Kecamatan Tegalwaru.
Berdasarkan penelusuran RAKA bersama tim Oepas Korak bebe
rapa waktu lalu, kondisi puncak gunung tertinggi di Kabupaten Karawang itu mengkhawatirkan. Selain disulap menjadi pemukiman plus warung, di beberapa titik terlihat perkebunan kopi. Bahkan, keberadaan 'maqam' di puncak tersebut mendukung kerusakan lebih parah, karena mayoritas peziarah nakal kerap membuang sampah, mengambil kulit kayu, dan membakar batang pohon untuk perapian. Selain itu ditemukan pula pakaian dalam perempuan dan laki-laki di aliran hulu sungai Cigentis. "Kami sudah beberapa kali mengadukan hal ini kepada KPH Purwakarta melalui Asisten Perhutani (Asper) Pangkalan, namun tidak ada tindakan nyata," ujarnya.
Melihat tidak adanya progres yang dilakukan KPH untuk melindungi gunung Sanggabuana, pihaknya bersama seluruh aktivis lingkungan berencana mengadukan hal itu ke Kementerian Kehutanan (Kemenhut). "Satu-satunya harapan kami adalah Kemenhut. Kami harap nantinya Kemenhut melakukan sidak ke Sanggabuana, agar kondisi mengkhawatirkan ini bisa ditanggulangi," paparnya.
Bahkan, beberapa waktu lalu warga beserta aparat Desa Mekarbuana sempat bermusyawarah dan meminta agar status gunung tersebut dirubah menjadi hutan lindung. "Memang Sanggabuana hingga saat ini statusnya sebagai hutan produktif, hal itupula yang menyebabkan seolah hutan ini sengaja dibiarkan. Tapi melihat kenyataan sekarang, gunung ini menjadi harapan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup, semisal kebutuhan air. Selain itu, kestabilan ekosistem yang ada, sangat berpengaruh terhadap kehidupan warga setempat," ungkapnya.
botol berserakan di puncak gunung sanggabuana
Dikatakan Kepala Desa Mekarbuana, Andi, perubahan status tersebut akan mempermudah pihaknya untuk melakukan konservasi, dan menindak pelaku perusakan hutan dengan mendirikan bangunan di wilayah Gunung Sanggabuana. "Sampai kapanpun, apabila status Sanggabuana belum berubah, maka selamanya petugas dan pemerhati lingkungan akan terkendala dalam melakukan pengarahan dan perbaikan," tandasnya.
Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Sanggabuana, mengingatkan masyarakat sekitar hutan agar jangan merusak hutan di Gunung Sanggabuana. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Ketua LMDH Sanggabuana, Enim, mengatakan pihaknya terus melakukan penyuluhan dan penyadaran pada masyarakat agar lebih peduli pada kelestarian hutan yang ada di sekitar gunung Sanggabuana. Menurutnya, salah satu alasan latar belakang dibentuknya LMDH, adalah melihat kerusakan hutan yang semakin parah, maka untuk menjaga hutan diperlukan kerjasama dengan masyarakat sekitar hutan yang terangkum dalam Desa. "Mengingat keberadaan petugas di lapangan sangatlah kurang, di sisi lain hutan merupakan amanat negara pada Perusahaan Umum (Perum) Perhutani yang harus tetap terjaga," ujarnya.
Seperti telah diketahui, efek kerusakan hutan Gunung Sanggabuana mulai dirasakan masyarakat sekitar kawasan hutan. Bukan hanya longsor, saat ini beberapa sungai mulai kering. Akibatnya, masyarakat sudah tidak bisa melihat dan memanfaatkan air Sungai Cibalisuk. "Hulu Sungai Cibalisuk ada di Gunung Sanggabuana," tutur Ubuh, salah seorang aktivis Oepas Korak.
Menurutnya, meski saat ini masih sering hujan, namun ada beberapa sungai yang debit airnya justru berkurang. Seperti sungai di Sigarung yang beberapa tahun lalu debit airnya cukup banyak, hingga untuk melewatinya harus meloncat. Selain itu, Pancuran Kadijayaan saat ini sama sekali kering.
Salah satu pembina Sispala SMK Muhammadiyah Cikampek, Lukmah Buntara, mengatakan, menjadi kewajiban bagi seluruh manusia untuk mempertahankan lingkungan dalam kondisi bersih, indah dan lestari. Karena hanya dengan cara itulah keberlangsungan hidup umat manusia dapat bertahan. Lingkungan yang sudah rusak dan tercemar sudah selayaknya dikembalikan pada kondisi semula. "Hal itu semua kembali pada diri kita masing-masing, karena dengan kesadaran diri upaya melestarikan lingkungan itu dapat dijalankan," ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, RAKA belum bisa mengkonfirmasi KPH Purwakarta, Bogor, dan Cianjur. (*)

Keindahan Dibalik Kotornya Pantai Cibendo



Panorama bawah laut Pantai Cibendo, Desa Ciparagejaya, Kecamatan Tempuran, ternyata lebih indah dari pemandangan di pesisir pantainya. Karang atau tumbuhan yang bergerak lemah gemulai mengikuti arus lautan, ditambah beragam ikan luat menyambut siapa saja yang berani menyelam laut utara Karawang tersebut.

Seperti yang diceritakan pengurus Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI) Pengcab Kota Bogor dan klub selam Milakancana, Sarda.
Saat itu, ia bersama alumni SMAN 5 Karawang angkatan '97, Hadid Suherman, mencari tahu keberadaan Pulau Karang yang berlokasi di Desa Ciparagejaya, Kecamatan Tempuran. Survey ini dilakukan untuk mencari kebenaran tentang adanya laut yang jernih, dimana pastinya ada kehidupan panorama bawah laut di daerah tersebut. Perjalanan  dilakukan pada pukul 15.00 WIB dari Karawang kota ke Pantai Cibendo. Hanya membutuhkan waktu 1 jam, disana mereka memarkirkan mobil di depan pantai sebuah warung dekat kantor Desa Ciparagejaya. "Kebetulan sekali kami waktu itu berjumpa dengan ketua Karang Taruna Desa Ciparage, yaitu Kang Uus. Setelah Menceritakan tentang maksud dan tujuan kami, mereka bersedia membantu segala keperluan yang kami butuhkan, mulai tempat tidur untuk menginap dan juga penyewaan kapal kecil untuk mencapai Pulau Karang," ungkapnya.
Esok harinya, sekitar Pukul 05.00 WIB, mereka terbangun. Setengah jam kemudian sunrise muncul di ufuk laut timur. Sinarnya kuning kemerahan b
ersinar menghiasi permukaan laut menuju Pantai Cibendo. Setelah sarapan dan menyiapkan perlengkapan untuk selam, pukul 07.00 WIB, Hadid dan Sarda, siap berangkat dengan sebuah kapal nelayan kecil yang sudah standby di dermaga depan pelelangan ikan. Perjalanan dari Dermaga Ciparage ke Pulo Karang hanya 1 jam. Kapal tidak bisa merapat terlalu dekat dengan Pulo Karang yang dangkal, nahkoda memutuskan segera melempar jangkarnya di tempat yang spotnya bagus. Air yang jernih membuat karang di bawah laut terlihat dari atas kapal. "Segera Komandan Hadid dan Kang Uus melakukan penyelaman, sedangkan saya melakukan observasi ke tonjolan karang yang muncul dari permukaan dengan berenang, tentunya dengan alat apung yang ada saat itu yaitu polifoam yang diikat oleh tambang pada tubuh. Lumayan berenang sekitar 300 meter dari kapal, cukup melelahkan dengan arus laut yang berlawanan," ungkap Sarda.
Menurut Sarda, keadaan karang di sekitar sudah rusak dan hancur. "Menurut cerita masyarakat asli setempat, Pulau Karang dahulu adalah hamparan daratan luas berpasir yang ditumbuhi hutan bakau. Eksploitasi besar-besaran bakau, karang dan pasir membuat Pulau Karang terkikis hampir hilang. Tapi menurut Kang Uus, bukan dari penduduk dan nelayan di Ciparage yang mengambil semua itu, mereka hanya nelayan mencari ikan saja,“ ujarnya.
Setelah hampir satu jam setengah menlakukan penyelaman (diving), akhirnya Hadid muncul dari permukaan. Dia berkata “Masih bisa terselamatkan”. Sambil memperlihatkan gambar-gambar dan rekaman video yang didapatnya di bawah laut. "Alhamdulillah, survey berhasil sesuai harapan. Terumbu karang beserta biota laut yang ada di Pulau Karang adalah aset wisata bahari yang perlu dijaga dan dilestarikan. Ternyata daerah kami memiliki aset wisata bawah laut yang sangat bagus, itu karena ketidaktahuan kami selama ini. Kami akan sampaikan bukti-bukti ini kepada semua. Ini perlu dilestarikan,“ ujar Uus dan Mawardi (anggota Mapalaska Unsika) yang juga ikut dalam survey.
Dikatakan Sarda, ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting, karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat baik bagi kehidupan ini, baik dilihat dari aspek fisik ataupun dari aspek ekonomi bagi masyarakat sekitar. "Saat ini kami butuh dukungan dari semua pihak, baik dari masyarakat dan juga pemerintah daerah setempat," ungkapnya. (*)

Revolusi Memakan Anak Kandungnya Sendiri (bagian 1)




Sejarah mencatat sebelum tanggal 17 Agustus 1945, sekelompok pemuda dengan nekat menculik Sukarno dan Hatta, berikut Fatmawati dan bayinya Guntur dibawa ke Rengasdengklok untuk dipaksa memproklamirkan kemerdekaan. Peristiwa ini sebenarnya bermula pada kunjungan sekelompok pemuda menemui Sukarno dan Hatta di suatu tempat. Orang itu adalah : Wikana (ketua), DN Aidit, Soebadio Sastrosatomo, Suroto dan Yusuf Kunto.

Pada pertemuan itu sekelompok pemuda itu ngotot agar kemerdekaan Indonesia di proklamasikan secepatnya sebelum ada keputusan resmi dari sekutu tentang status Indonesia, artinya masa vakum kekuasaan akibat kalahnya Jepang ibarat ‘Golden Time’ bagi orang kena serangan jantung sebelum diselamatkan dokter atau mati ditengah jalan. Su
karno menolak ia takut kalau proklamasi dilakukan tanpa menyertakan Panitia Kemerdekaan yang notabene buatan Jepang maka bisa terjadi penangkapan-penangkapan yang tidak perlu dan korban dari pihak rakyat karena kebrutalan Jepang. Tapi para pemuda itu bilang mereka sudah siap, dan revolusi tinggal tunggu pelatuknya. Jakarta akan terbakar api perang kemerdekaan. Sukarno tetap menolak permintaan pemuda itu. Akhirnya salah seorang dari mereka dalam suasana panas mengancam bila Bung Karno tidak mau memproklamirkan maka akan ada pertumpahan darah dalam pertemuan ini. Bung Karno yang terkenal nggak mau ngalah, malah balik mengancam sambil pegang lehernya dan berteriak. “ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu, dan sudahilah nyawa saya sekarang juga, jangan tunggu besok!” Hatta yang lebih berkepala dingin menengahi suasana yang sudah memanas itu, dia bilang “Sudah jangan diteruskan...kalau kalian sanggup proklamasikan saja sendiri” Hatta meminta pemuda lebih sabar menunggu keadaan.

Jelas suasana ini membuat para pemuda yang memaksa Bung Karno kecewa apalagi Wikana yang sudah sangat yakin bahwa Kaigun (Angkatan Laut Jepang) pasti bisa membantu Indonesia, ia kenal dengan petinggi-petinggi Kaigun yang memang agak bersimpati atas kemerdekaan Indonesia. Peristiwa inilah yang kemudian mencetuskan ide gila untuk menculik Sukarno dan Hatta.

Lalu bagaimana yang terjadi dengan nasib orang-orang yang terlibat pada pertemuan itu setelah Indonesia merdeka?.

Sukarno menjadi Presiden Indonesia pertama, namun diakhir hidupnya ia dikarantina akibat peristiwa G 30 S yang nggak jelas siapa yang main. Akhir hidupnya menderita sakit lever dan wajahnya bengkak-bengkak, dokter yang merawat Bung Karno bukan lagi dokter Mahar Mardjono tapi dokter hewan dan ia tidak boleh baca koran, menerima tamu bahkan kerap menerima perlakuan kasar dari pengawal yang diperintahkan Junta Militer Orde Baru untuk menjaga beliau. Orang yang terakhir menjenguk beliau adalah Hatta. Sukarno yang dalam keadaan koma tiba-tiba tersadar ketika Hatta datang, dengan suara pelan dia berkata “Hatta kau disini?”.Hatta menanggapinya dengan menjawab “Bagaimana keadaanmu, No?” Hatta memanggil Sukarno dengan nama kependekan seperti yang sering ia kalau ia memanggil Bung Karno di jaman pergerakan sampai awal kemerdekaan. Bung Karno menjawab sama dengan apa yang ditanyakan Hatta dalam bahasa Belanda “Hoe gaat het met Jou?”. Hatta menangis sambil memegangi tangan Bung Karno.

Tokoh yang paling tragis dari kisah orang-orang yang hadir dalam pertemuan itu adalah DN Aidit alias Bang Amat. Ia yang diawal kemerdekaan tertangkap Belanda dan dipenjarakan di Pulau Onrust lalu setelah dibebaskan ia bergabung dengan gerakan Musso, akibat peristiwa Madiun 1948, ia bersembunyi dan baru muncul di awal tahun 50-an. Ia juga dicari-cari Rezim Sukiman pada Razia Agustus 1951, kemudian PKI mendapat pengakuan politik oleh Sukarno, dan DN Aidit merevitalisasi PKI, lalu membesarkan partai ini menjadi partai paling menakutkan bagi lawan-lawan politiknya. Akibat peristiwa G 30 S ia dituduh sebagai dalang utama dan kabarnya ia dihabisi oleh prajurit RPKAD di sebuah tempat di Solo. Pembunuhan terhadap karakternya paling brutal dalam kisah sejarah Indonesia, ia bukan saja dibantai kehidupannya tapi juga dibantai namanya, DN Aidit menjadi nama paling mengerikan baik di buku-buku pelajaran maupun film atau kisah-kisah di masa Orde Baru.

Soebadio Sastrosatomo juga mengalami nasib yang kurang baik dalam hidupnya setelah Indonesia merdeka. Pada awalnya ia masa-masa manis berpolitik. Pada saat pemerintahan Amir Syarifudin jatuh akibat mosi tidak percaya terhadap perundingan Renville, Amir yang juga tadinya satu partai dengan Badio alias Kiyuk..berkata pada Badio dalam sebuah rapat mendadak “Ik leg mijn ambt neer. Saya sudah kalah, Badio..wordt jij maar Perdana Menteri. Daar is the plane, ga jij maar Jakarta om meet de Belanda te spreken..(Saya letakkan jabatan saya, saya sudah kalah Badio, kau saja jadi Perdana Menteri.Disana ada pesawat terbang, kau pergilah ke Jakarta untuk berunding dengan Belanda). Saat itu umur Badio baru 30 tahun. Namun Badio menolak tawaran Amir.

Saat Sukarno mengusulkan supaya Badio diangkat menjadi Jaksa Agung pada bulan November 1945 Hatta menolak dengan berkata “Soebadio is the jong” (Soebadio terlalu muda) jadilah Badio seumur-umur tidak pernah menerima jabatan resmi pemerintah. Malah ia keluar masuk penjara. Di jaman Demokrasi terpimpin Badio masuk penjara Madiun karena dianggap menentang Sukarno. Lalu di jaman Orde Baru tanpa proses pengadilan ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara selama 888 hari. Hidupnya sangat sederhana, Pak Badio ini tinggal di Jalan Guntur No. 49 Jakarta. Rumahnya merupakan bangunan tua yang lapuk di makan usia. Badio ini termasuk anak didik Sjahrir, Ia benci sekali dengan Suharto namun ia menyenangi Bung Karno walaupun ia pernah dipenjara pada saat jaman Bung Karno. Di jaman Orde Baru Megawati berkali-kali datang ke rumah Badio dan kalau Megawati datang, Badio selalu tanya “Apa kata Bapak?” Badio yakin Megawati mampu berdialog dengan arwah Bung Karno.

Sejarah Lepasnya Timor Timur yang Tak Terungkap (bagian 2)



Cukup lama kami mengobrol. Dia menguasai betul sejarah dan politik Timtim dan saya sangat menikmatinya. Obrolan usai karena kantuk kian menyerang.

Orang ini menancapkan kesan kuat dalam diri saya. Sebagai wartawan, saya telah bertemu, berbicara dengan banyak orang, dari pedagang kaki lima sampai menteri, dari germo sampai kyai, kebanyakan sudah lupa. Tapi orang ini, sampai sekarang, saya masih ingat jelas.

Sambil berjalan menuju kamar, pikiran bertanya-tanya: kalau dia seorang tokoh, kenapa saya tak pernah mendengar namanya dan melihatnya? Seperti saya mengenal Eurico Gueterres, Taur Matan Ruak? Xanana Gusmao? Dan lain-lain? Tapi sudahlah.

Pagi tanggal 29 Agustus 1999. Saya keluar penginapan hendak memantau situasi. Hari itu saya harus kirim laporan ke Bangkok. Namun sebelum keliling saya mencari rumah makan untuk sarapan. Kebetulan lewat satu rumah makan yang cukup nyaman. Segera saya masuk dan duduk. Eh, di meja sana saya melihat Laffae sedang dikelilingi 4-5 orang, semuanya berseragam Pemda setempat. Saya tambah yakin dia memang orang penting – tapi misterius.

Setelah bubar, saya tanya Laffae siapa orang-orang itu. “Yang satu Bupati Los Palos, yang satu Bupati Ainaro, yang dua lagi pejabat kejaksaan,” katanya. “Mereka minta nasihat saya soal keadaan sekarang ini,” tambahnya.

Kalau kita ketemu Laffae di jalan, kita akan melihatnya ‘bukan siapa-siapa’. Pakaiannya sangat sederhana. Rambutnya terurai tak terurus. Dan kalau kita belum ‘masuk’, dia nampak pendiam.

Saya lanjut keliling. Kota Dili makin semarak oleh kesibukan orang-orang asing. Terlihat polisi dan tentara UNAMET berjaga-jaga di setiap sudut kota. Saya pun mulai sibuk, sedikitnya ada tiga konferensi pers di tempat yang berbeda. Belum lagi kejadian-kejadian tertentu. Seorang teman wartawan dari majalah Tempo, Prabandari, selalu memberi tahu saya peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Dari berbagai peristiwa itu, yang menonjol adalah laporan dan kejadian tentang kecurangan panitia penyelenggara, yaitu UNAMET. Yang paling banyak dikeluhkan adalah bahwa UNAMET hanya merekrut orang-orang pro-kemerdekaan di kepanitiaan. Klaim ini terbukti. Saya mengunjungi hampir semua TPS terdekat, tidak ada orang pro-integrasi yang dilibatkan.

Yang bikin suasana panas di kota yang sudah panas itu adalah sikap polisi-polisi UNAMET yang tidak mengizinkan pemantau dan pengawas dari kaum pro-integrasi, bahkan untuk sekedar mendekat. Paling dekat dari jarak 200 meter. Tapi pemantau-pemantau bule bisa masuk ke sektratriat. Bahkan ikut mengetik!

Di sini saya perlu mengungkapkan ukuran mental orang-orang LSM dari Indonesia, yang kebanyakan mendukung kemerdekaan Timtim karena didanai asing. Mereka tak berani mendekat ke TPS dan sekretariat, baru ditunjuk polisi UNAMET saja langsung mundur. Tapi kepada pejabat-pejabat Indonesia mereka sangat galak: menuding, menuduh, menghujat. Berani melawan polisi. Di hadapan polisi bule mereka mendadak jadi inlander betulan.

Tambah kisruh adalah banyak orang-orang pro-integrasi tak terdaftar sebagai pemilih. Dari 4 konferensi pers, 3 di antaranya adalah tentang ungkapan soal ini. Bahkan anak-anak Mahidi mengangkut segerombolan orang tua yang ditolak mendaftar pemilih karena dikenal sebagai pendukung integrasi.

Saya pun harus mengungkapkan ukuran mental wartawan-wartawan Indonesia di sini. Siang menjelang sore, UNAMET menyelenggarakan konferensi pers di Dili tentang rencana penyelenggaraan jajak pendapat besok. Saya tentu hadir. Lebih banyak wartawan asing daripada wartawan Indonesia. Saya yakin wartawan-wartawan Indonesia tahu kecurangan-kecurangan itu.

Saat tanya jawab, tidak ada wartawan Indonesia mempertanyakan soal praktik tidak fair itu. Bahkan sekedar bertanya pun tidak. Hanya saya yang bertanya tentang itu. Jawabannya tidak jelas. Pertanyaan didominasi wartawan-wartawan bule.

Tapi saya ingat betapa galaknya wartawan-wartawan Indonesia kalau mewawancarai pejabat Indonesia terkait dengan HAM atau praktik-praktik kecurangan. Hambatan bahasa tidak bisa jadi alasan karena cukup banyak wartawan Indonesia yang bisa bahasa Inggris. Saya kira sebab utamanya rendah diri, seperti sikap para aktifis LSM lokal tadi.

Setelah konferensi pers usai, sekitar 2 jam saya habiskan untuk menulis laporan. Isi utamanya tentang praktik-praktik kecurangan itu. Selain wawancara, saya juga melengkapinya dengan pemantauan langsung.

Kira-kira 2 jam setelah saya kirim, editor di Bangkok menelepon. Saya masih ingat persis dialognya:

“Kafil, we can’t run the story,” katanya.

“What do you mean? You send me here. I do the job, and you don’t run the story?” saya berreaksi.

“We can’t say the UNAMET is cheating…” katanya.

“That’s what I saw. That’s the fact. You want me to lie?” saya agak emosi.

“Do they [pro-integrasi] say all this thing because they know they are going to loose?”

“Well, that’s your interpretation. I’ll make it simple. I wrote what I had to and it’s up to you,”

“I think we still can run the story but we should change it.”

“ I leave it to you,” saya menutup pembicaraan.

Saya merasa tak nyaman. Namun saya kemudian bisa maklum karena teringat bahwa IPS Asia-Pacific itu antara lain didanai PBB.

***

Kira-kira jam 5:30 sore, 29 Agustus 199, saya tiba di penginapan. Lagi-lagi, Laffae sedang dikerumuni tokoh-tokoh pro-integrasi Timtim. Terlihat Armindo Soares, Basilio Araujo, Hermenio da Costa, Nemecio Lopes de Carvalho, nampaknya mereka sedang membicarakan berbagai kecurangan UNAMET.

Makin malam, makin banyak orang berdatangan. Orang-orang tua, orang-orang muda, tampaknya dari tempat jauh di luar kota Dili. Kelihatan sekali mereka baru menempuh perjalanan jauh.

Seorang perempuan muda, cukup manis, tampaknya aktifis organisasi, terlihat sibuk mengatur rombongan itu. Saya tanya dia siapa orang-orang ini.

“Mereka saya bawa ke sini karena di desanya tidak terdaftar,” katanya. “Mereka mau saya ajak ke sini. Bahkan mereka sendiri ingin. Agar bisa memilih di sini. Tidak ada yang membiayai. Demi merah putih,” jawabnya bersemangat.

Saya tergetar mendengar bagian kalimat itu: “…demi merah putih.”

Mereka semua ngobrol sampai larut. Saya tak tahan. Masuk kamar. Tidur. Besok jajak pendapat.

Pagi 30 Agustus 1999. Saya keliling Dili ke tempat-tempat pemungutan suara. Di tiap TPS, para pemilih antri berjajar. Saya bisa berdiri dekat dengan antrean-antrean itu. Para ‘pemantau’ tak berani mendekat karena diusir polisi UNAMET.

Karena dekat, saya bisa melihat dan mendengar bule-bule Australia yang sepertinya sedang mengatur barisan padahal sedang kampanye kasar. Kebetulan mereka bisa bahasa Indonesia: “Ingat, pilih kemerdekaan ya!” teriak seorang cewek bule kepada sekelompok orang tua yang sedang antre. Bule-bule yang lain juga melakukan hal yang sama.

Sejenak saya heran dengan kelakuan mereka. Yang sering mengampanyekan kejujuran, hak menentukan nasib sendiri. Munafik, pikir saya. Mereka cukup tak tahu malu.

Setelah memantau 4-5 TPS saya segera mencari tempat untuk menulis. Saya harus kirim laporan. Setelah mengirim laporan. Saya manfaat waktu untuk rileks, mencari tempat yang nyaman, melonggarkan otot. Toh kerja hari itu sudah selesai.

Sampailah saya di pantai agak ke Timur, di mana patung Maria berdiri menghadap laut, seperti sedang mendaulat ombak samudra. Patung itu bediri di puncak bukit. Sangat besar. Dikelilingi taman dan bangunan indah. Untuk mencapai patung itu, anda akan melewati trap tembok yang cukup landai dan lebar. Sangat nyaman untuk jalan berombongan sekali pun. Sepanjang trap didindingi bukit yang dilapisi batu pualam. Di setiap kira jarak 10 meter, di dinding terpajang relief dari tembaga tentang Yesus, Bunda Maria, murid-murid Yesus, dengan ukiran yang sangat bermutu tinggi.

Patung dan semua fasilitasnya ini dibangun pemerintah Indonesia. Pasti dengan biaya sangat mahal. Ya, itulah biaya politik.

Tak terasa hari mulai redup. Saya harus pulang. Besok pengumuman hasil jajak pendapat.

Selepas magrib, 30 September 1999. Kembali saya menunaikan kewajiban yang diperintahkan oleh kebiasaan buruk: merokok sambil minum kopi di lobi penginapan. Kali ini, Laffae mendahului saya. Dia sudah duluan mengepulkan baris demi baris asap dari hidung dan mulutnya. Kami ngobrol lagi.

Tapi kali ini saya tidak leluasa. Karena banyak tamu yang menemui Laffae, kebanyakan pentolan-pentolan milisi pro-integrasi. Ditambah penginapan kian sesak. Beberapa pemantau nginap di situ. Ada juga polisi UNAMET perwakilan dari Pakistan.

Ada seorang perempuan keluar kamar, melihat dengan pandangan ‘meminta’ ke arah saya dan Laffae. Kami tidak mengerti maksudnya. Baru tau setelah lelaki pendampingnya bilang dia tak kuat asap rokok. Laffae lantas bilang ke orang itu kenapa dia jadi pemantau kalau tak kuat asap rokok. Kami berdua terus melanjutkan kewajiban dengan racun itu. Beberapa menit kemudian cewek itu pingsan dan dibawa ke klinik terdekat.

Saya masuk kamar lebih cepat. Tidur.

Pagi, 4 September 1999. Pengumuman hasil jajak pendapat di hotel Turismo Dili. Bagi saya, hasilnya sangat mengagetkan: 344.508 suara untuk kemerdekaan, 94.388 untuk integrasi, atau 78,5persen berbanding 21,5persen.

Ketua panitia mengumumkan hasil ini dengan penuh senyum, seakan baru dapat rezeki nomplok. Tak banyak tanya jawab setelah itu. Saya pun segera berlari mencari tempat untuk menulis laporan. Setelah selesai, saya balik ke penginapan.

Di lobi, Laffae sedang menonton teve yang menyiarkan hasil jajak pendapat. Sendirian. Saat saya mendekat, wajahnya berurai air mata. “Tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Mereka curang..” katanya tersedu. Dia merangkul saya. Lelaki pejuang, tegar, matang ini mendadak luluh. Saya tak punya kata apapun untuk menghiburnya. Lagi pula, mata saya saya malah berkaca-kaca, terharu membayangkan apa yang dirasakan lelaki ini. Perjuangan keras sepanjang hidupnya berakhir dengan kekalahan.

Saya hanya bisa diam. Dan Laffae pun nampaknya tak mau kesedihannya terlihat orang lain. Setelah beberapa jenak ia berhasil bersikap normal.

“Kota Dili ini akan kosong..” katanya. Pelan tapi dalam. “Setelah kosong, UNAMET mau apa.”

Telepon berbunyi, dari Prabandari Tempo. Dia memberi tahu semua wartawan Indonesia segera dievakuasi pakai pesawat militer Hercules, karena akan ada penyisiran terhadap semua wartawan Indonesia. Saya diminta segera ke bandara saat itu juga. Kalau tidak, militer tidak bertanggung jawab. Semua wartawan Indonesia sudah berkumpul di bandara, tinggal saya. Hanya butuh lima menit bagi saya untuk memutuskan tidak ikut. “Saya bertahan, nDari. Tinggalkan saja saya.”

Laffae menguping pembicaraan. Dia menimpali: “Kenapa wartawan kesini kalau ada kejadian malah lari?” katanya. Saya kira lebih benar dia mikirnya.

Saya lantas keluar, melakukan berbagai wawancara, menghadiri konferensi pers, kebanyakan tentang kemarahan atas kecurangan UNAMET. “Anggota Mahidi saja ada 50 ribu; belum Gardapaksi, belum BMP, belum Halilintar, belum masyarakat yang tak ikut organisasi,” kata Nemecio Lopez, komandan milisi Mahidi.

Kembali ke penginapan sore, Laffae sedang menghadapi tamu 4-5 orang pentolan pro-integrasi. Dia menengok ke arah saya: “Kafil! Mari sini,” mengajak saya bergabung.

“Sebentar!” saya bersemangat. Saya tak boleh lewatkan ini. Setelah menyimpan barang-barang di kamar, mandi kilat. Saya bergabung. Di situ saya hanya mendengarkan. Ya, hanya mendengarkan.

“Paling-paling kita bisa siapkan seribuan orang,” kata ketua Armindo Soares, saya bertemu dengannya berkali-kali selama peliputan.

“Saya perlu lima ribu,” kata Laffae.

“Ya, lima ribu baru cukup untuk mengguncangkan kota Dili,” katanya, sambil menengok ke arah saya.

“Kita akan usahakan,” kata Armindo.

Saya belum bisa menangkap jelas pembicaraan mereka ketika seorang kawan memberitahu ada konferensi pers di kediaman Gubernur Abilio Soares. Saya segera siap-siap berangkat ke sana. Sekitar jam 7 malam, saya sampai di rumah Gubernur. Rupanya ada perjamuan. Cukup banyak tamu. Soares berbicara kepada wartawan tentang penolakannya terhadap hasil jajak pendapat karena berbagai kecurangan yang tidak bisa dimaklumi.

Setelah ikut makan enak, saya pulang ke penginapan sekitar jam 8:30 malam. Sudah rindu bersantai dengan Laffae sambil ditemani nikotin dan kafein. Tapi Laffae tidak ada. Anehnya, penginapan jadi agak sepi. Para pemantau sudah check-out, juga polisi-polisi UNAMET dari Pakistan itu. Tak banyak yang bisa dilakukan kecuali tidur.

Namun saat rebah, kantuk susah datang karena terdengar suara-suara tembakan. Mula-mula terdengar jauh. Tapi makin lama makin terdengar lebih dekat dan frekuensi tembakannya lebih sering. Mungkin karena perut kenyang dan badan capek, saya tertidur juga.

Tanggal 5 September pagi, sekitar jam 09:00, saya keluar penginapan. Kota Dili jauh lebi lengang. Hanya terlihat kendaran-kendaraan UNAMET melintas di jalan. Tak ada lagi kendaraan umum. Tapi saya harus keluar. Apa boleh buat – jalan kaki. Makin jauh berjalan makin sepi, tapi tembakan nyaris terdengar dari segala arah. Sesiang ini, Dili sudah mencekam.

Tidak ada warung atau toko buka. Perut sudah menagih keras. Apa boleh buat saya berjalan menuju hotel Turismo, hanya di hotel besar ada makanan. Tapi segera setelah itu saya kembali ke penginapan. Tidak banyak yang bisa dikerjakan hari itu.

Selepas magrib 5 Setember 1999. Saya sendirian di penginapan. Lapar. Tidak ada makanan. Dili sudah seratus persen mencekam. Bunyi tembakan tak henti-henti. Terdorong rasa lapar yang sangat, saya keluar penginapan.

Selain mencekam. Gelap pula. Hanya di tempat-tempat tertentu lampu menyala. Baru kira-kira 20 meter berjalan, gelegar tembakan dari arah kanan. Berhenti. Jalan lagi. Tembakan lagi dari arah kiri. Tiap berhenti ada tarikan dua arah dari dalam diri: kembali atau terus. Entah kenapa, saya selalu memilih terus, karena untuk balik sudah terlanjur jauh. Saya berjalan sendirian; dalam gelap; ditaburi bunyi tembakan. Hati dipenuhi adonan tiga unsur: lapar, takut, dan perjuangan menundukkan rasa takut. Lagi pula, saya tak tau ke arah mana saya berjalan. Kepalang basah, pokoknya jalan terus.

Sekitar jam 11 malam, tanpa disengaja, kaki sampai di pelabuhan Dili. Lumayan terang oleh lampu pelabuhan. Segera rasa takut hilang karena di sana banyak sekali orang. Mereka duduk, bergeletak di atas aspal atau tanah pelabuhan. Rupanya, mereka hendak mengungsi via kapal laut.

Banyak di antara mereka yang sedang makan nasi bungkus bersama. Dalam suasa begini, malu dan segan saya buang ke tengah laut. Saya minta makan! “Ikut makan ya?” kata saya kepada serombongan keluarga yang sedang makan bersama. “Silahkan bang!.. silahkan!..” si bapak tampak senang. Tunggu apa lagi, segera saya ambil nasinya, sambar ikannya. Cepat sekali saya makan. Kenyang sudah, sehingga ada tenaga untuk kurang ajar lebih jauh: sekalian minta rokok ke bapak itu. Dikasih juga.

Sekitar jam 3 malam saya berhasil kembali ke penginapan.

Pagi menjelang siang, tanggal 6 September 1999. Saya hanya duduk di lobi penginapan karena tidak ada kendaraan. Tidak ada warung dan toko yang buka. Yang ada hanya tembakan tak henti-henti. Dili tak berpenghuni – kecuali para petugas UNAMET. Nyaris semua penduduk Dili mengungsi, sebagian via kapal, sebagian via darat ke Atambua. Orang-orang pro-kemerdekaan berlarian diserang kaum pro-integrasi. Markas dan sekretariat dibakar. Darah tumpah lagi entah untuk keberapa kalinya.

Sekarang, saya jadi teringat kata-kata Laffae sehabis menyaksikan pengumuman hasil jajak pedapat kemarin: “Dili ini akan kosong..”

Saya pun teringat kata-kata dia: “Saya perlu lima ribu orang untuk mengguncang kota Dili..” Ya, sekarang saya berkesimpulan ini aksi dia. Aksi pejuang pro-integrasi yang merasa kehilangan masa depan. Ya, hanya saya yang tahu siapa tokoh utama aksi bumi hangus ini, sementara teve-teve hanya memberitakan penyerangan mililis pro-integrasi terhadap kaum pro-kemerdekaan.

Tentu, orang-orang pro-integrasi pun mengungsi. Laffae dan pasukannya ingin semua orang Timtim bernasib sama: kalau ada satu pihak yang tak mendapat tempat di bumi Loro Sae, maka semua orang timtim harus keluar dari sana. Itu pernah diucapkannya kepada saya.

Inilah hasil langsung jajak pendapat yang dipaksakan harus dimenangkan. Hukum perhubungan antar manusia saat itu sepasti hukum kimia: tindakan lancung dan curang pasti berbuah bencana.

***

Saya harus pulang, karena tidak banyak yang bisa dilihat dan ditemui. Untung masih ada omprengan yang mau mengantara ke bandara. Sekitar jam 11 pagi saya sampai di pelabuhan udara Komoro. Keadaan di bandara sedang darurat. Semua orang panik. Semua orang ingin mendapat tiket dan tempat duduk pada jam penerbangan yang sama. Karena hura-hara sudah mendekati bandara. Lagi pula penerbangan jam itu adalah yang satu-satunya dan terakhir.

Bule-bule yang biasanya tertib kini saling sikut, saling dorong sampai ke depan komputer penjaga kounter. Ada bule yang stres saking tegangnya sampai-sampai minta rokok kepada saya yg berdiri di belakang tenang-tenang saja. Beginilah nikmatnya jadi orang beriman.

Banyak yang tidak kebagian tiket. Entah kenapa saya lancar-lancar saja. Masuk ke ruangan tunggu, di situ sudah ada Eurico Gutteres. Saya hampiri dia, saya bilang saya banyak bicara dengan Laffae dan dia menyampaikan salam untuknya. Eurico memandang saya agak lama, pasti karena saya menyebut nama Laffae itu.

Sore, 7 Novembe3, 1999, saya mendarat di Jakarta.

Penduduk Timtim mengungsi ke Atambua, NTT. Sungguh tidak mudah mereka mengungsi. Polisi UNAMET berusaha mencegah setiap bentuk pengungsian ke luar Dili. Namun hanya sedikit yang bisa mereka tahan di Dili.

Di kamp-kamp pengungsian Atambua, keadaan sungguh memiriskan hati. Orang-orang tua duduk mecakung; anak-anak muda gelisah ditelikung rasa takut; sebagian digerayangi rasa marah dan dendam; anak-anak diliputi kecemasan. Mereka adalah yang memilih hidup bersama Indonesia. Dan pilihan itu mengharuskan mereka terpisah dari keluarga.

Pemerintah negara yang mereka pilih sebagai tumpuan hidup, jauh dari menyantuni mereka. Kaum milisi pro-integrasi dikejar-kejar tuntutan hukum atas ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’, dan Indonesia, boro-boro membela mereka, malah ikut mengejar-ngejar orang Timtim yang memilih merah putih itu. Eurico Guterres dan Abilio Soares diadili dan dihukum di negara yang dicintai dan dibelanya.

Jendral-jendral yang dulu menikmati kekuasaan di Timtim, sekarang pada sembunyi. Tak ada yang punya cukup nyali untuk bersikap tegas, misalnya: “Kami melindungi rakyat Timtim yang memilih bergabung dengan Indonesia.” Padahal, mereka yang selalu mengajarkan berkorban untuk negara; menjadi tumbal untuk kehormatan pertiwi, dengan nyawa sekalipun.

Sementara itu, para pengungsi ditelantarkan. Tak ada solidaritas kebangsaan yang ditunjukkan pemerintah dan militer Indonesia.

Inilah tragedi kemanusiaan. Melihat begini, jargon-jargon negara-negara Barat, media asing, tentang ‘self determination’, tak lebih dari sekedar ironi pahit. Sikap negara-negara Barat dan para aktifis kemanusiaan internasional yang merasa memperjuangkan rakyat Timtim jadi terlihat absurd. Sebab waktu telah membuktikan bahwa yang mereka perjuangkan tak lebih tak kurang adalah sumberdaya alam Timtim, terutama minyak bumi, yang kini mereka hisap habis-habisan.

Pernah Laffae menelepon saya dari Jakarta, kira-kira 3 bulan setelah malapetaka itu. Ketika itu saya tinggal di Bandung. Dia bilang ingin ketemu saya dan akan datang ke Bandung. Saya sangat senang. Tapi dia tak pernah datang..saya tidak tahu sebabnya. Mudah-mudahan dia baik-baik saja.

***

12 TAHUN BERALU SUDAH. APA KABAR BAILOUT IMF YANG 43 MILYAR DOLAR ITU? SAMPAI DETIK INI, UANG ITU ENTAH DI MANA. ADA BEBERAPA PERCIK DICAIRKAN TAHUN 1999-2000, TAK SAMPAI SEPEREMPATNYA. DAN TIDAK MENOLONG APA-APA. YANG TERBUKTI BUKAN MENCAIRKAN DANA YANG DIJANJIKAN, TAPI MEMINTA PEMERINTAH INDONESIA SUPAYA MENCABUT SUBSIDI BBM, SUBSIDI PANGAN, SUBSIDI LISTRIK, YANG MEMBUAT RAKYAT INDONESIA TAMBAH MISKIN DAN SENGSARA. ANEHNYA, SEMUA SARANNYA ITU DITURUT OLEH PEMERINTAH RENDAH DIRI BIN INLANDER INI.

Yang paling dibutuhkan adalah menutupi defisit anggaran. Untuk itulah dana pinjaman [bukan bantuan] diperlukan. Namun IMF mengatasi defisit angaran dengan akal bulus: mencabut semua subsidi untuk kebutuhan rakyat sehingga defisit tertutupi, sehingga duit dia tetap utuh. Perkara rakyat ngamuk dan makin sengsara, peduli amat.

Melengkapi akal bulusnya itu IMF meminta pemerintah Indonesia menswastakan semua perusahaan negara, seperti Bank Niaga, BCA, Telkom, Indosat.

Pernah IMF mengeluarkan dana cadangan sebesar 9 milyar dolar. Tapi, seperti dikeluhkan Menteri Ekonomi Kwik Kian Gie ketika itu, seperak pun dana itu tidak bisa dipakai karena hanya berfungsi sebagai pengaman. Apa bedanya dengan dana fiktif?

Lagi pula, kenapa ketika itu pemerintah Indonesia seperti tak punya cadangan otak, yang paling sederhana sekalipun. KENAPA MAU MELEPAS TIMTIM DENGAN IMBALAN UTANG? BUKANKAN SEMESTINYA KOMPENSASI? ADAKAH DI DUNIA INI ORANG YANG HARTANYA DI BELI DENGAN UTANG? NIH SAYA BAYAR BARANGMU. BARANGMU SAYA AMBIL, TAPI KAU HARUS TETAP MENGEMBALIKAN UANG ITU. BUKANKAH INI SAMA PERSIS DENGAN MEMBERI GRATIS? DAN DALAM KASUS INI, YANG DIKASIH ADALAH NEGARA? YA, INDONESIA MEMBERI NEGARA KEPADA IMF SECARA CUMA-CUMA.

Kalau saya jadi wakil pemerintah Indonesia waktu itu, saya akan menawarkan ‘deal’ yang paling masuk akal: “Baik, Timor Timur kami lepas tanpa syarat. Ganti saja dana yang sudah kami keluarkan untuk membangun Timtim selama 24 tahun.” Dengan demikian, tidak ada utang piutang.

SAMPAI HARI INI INDONESIA MASIH MENYICIL UTANG KEPADA IMF, UNTUK SESUATU YANG TAK PERNAH IA DAPATKAN. SAYA HARAP GENERASI MUDA INDONESIA TIDAK SEBODOH PARA PEMIMPIN SEKARANG

Sunday, July 5, 2015

Sejarah Lepasnya Timor Timur yang Tak Terungkap (Bagian 1)







Berikut ini adalah tulisan seorang wartawan yang meliput jajak pendapat di Dili, Timor-timur. Tulisan berikut ini sungguh luar biasa, namun sekaligus membuat dada sesak.
Ditulis oleh Kafil Yamin, wartawan kantor berita The IPS Asia-Pacific, Bangkok, yang dikirim ke Timor Timur pada tanggal 28 Agustus 1999 untuk meliput ‘Jajak Pendapat Timor-Timur’ yang diselenggarakan UNAMET [United Nations Mission in East Timor], 30 Agustus 1999. Judul asli dari tulisan ini adalah Menit-Menit yang Luput dari Catatan Sejarah Indonesia. Saya sengaja ubah judulnya dengan maksud agar lebih jelas mengenai apa yang terkandung dalam tulisan tersebut.
MENIT-MENIT YANG LUPUT DARI CATATAN SEJARAH INDONESIA

Oleh: Kafil Yamin

Jajak pendapat itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah referendum, adalah buah dari berbagai tekanan internasioal kepada Indonesia yang sudah timbul sejak keruntuhan Uni Soviet tahun 1989. Belakangan tekanan itu makin menguat dan menyusahkan Indonesia. Ketika krisis moneter menghantam negara-negara Asia Tenggara selama tahun 1997-1999, Indonesia terkena. Guncangan ekonomi sedemikian hebat; berimbas pada stabilitas politik; dan terjadilah jajak pendapat itu.

Kebangkrutan ekonomi Indonesia dimanfaatkan oleh pihak Barat, melalui IMF dan Bank Dunia, untuk menekan Indonesia supaya melepas Timor Timur. IMF dan Bank Dunia bersedia membantu Indonesia lewat paket yang disebut bailout, sebesar US$43 milyar, asal Indonesia melepas Timtim.

Apa artinya ini? Artinya keputusan sudah dibuat sebelum jajak pendapat itu dilaksanakan. Artinya bahwa jajak pendapat itu sekedar formalitas. Namun meski itu formalitas, toh keadaan di kota Dili sejak menjelang pelaksanan jajak pendapat itu sudah ramai nian. Panita jajak pendapat didominasi bule Australia dan Portugis. Wartawan asing berdatangan. Para pegiat LSM pemantau jajak pendapat, lokal dan asing, menyemarakkan pula – untuk sebuah sandiwara besar. Hebat bukan?

Sekitar Jam 1 siang, tanggal 28 Agustus 1999, saya mendarat di Dili. Matahari mengangkang di tengah langit. Begitu menyimpan barang-barang di penginapan [kalau tidak salah, nama penginapannya Dahlia, milik orang Makassar], saya keliling kota Dili. Siapapun yang berada di sana ketika itu, akan berkesimpulan sama dengan saya: kota Dili didominasi kaum pro-integrasi. Mencari orang Timtim yang pro-kemerdekaan untuk saya wawancarai, tak semudah mencari orang yang pro-integrasi.

Penasaran, saya pun keluyuran keluar kota Dili, sampai ke Ainaro dan Liquica, sekitar 60 km dari Dili. Kesannya sama: lebih banyak orang-orang pro-integrasi. Di banyak tempat, banyak para pemuda-pemudi Timtim mengenakan kaos bertuliskan Mahidi [Mati-Hidup Demi Integrasi], Gadapaksi [Garda Muda Penegak Integrasi], BMP [Besi Merah Putih], Aitarak [Duri].

Setelah seharian berkeliling, saya berkesimpulan Timor Timur akan tetap bersama Indonesia. Bukan hanya dalam potensi suara, tapi dalam hal budaya, ekonomi, sosial, tidak mudah membayangkan Timor Timur bisa benar-benar terpisah dari Indonesia. Semua orang Timtim kebanyakan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Para penyedia barang-barang kebutuhan di pasar-pasar adalah orang Indonesia. Banyak pemuda-pemudi Timtim yang belajar di sekolah dan universitas Indonesia, hampir semuanya dibiayai pemerintah Indonesia. Guru-guru di sekolah-sekolah Timtim pun kebanyakan orang Indonesia, demikian juga para petugas kesehatan, dokter, mantri.

Selepas magrib, 28 Agustus 1999, setelah mandi dan makan, saya duduk di lobi penginapan, minum kopi dan merokok. Tak lama kemudian, seorang lelaki berusia 50an, tapi masih terlihat gagah, berambut gondrong, berbadan atletis, berjalan ke arah tempat duduk saya; duduk dekat saya dan mengeluarkan rokok. Rupanya ia pun hendak menikmati rokok dan kopi.

Mungkin karena dipersatukan oleh kedua barang beracun itu, kami cepat akrab. Dia menyapa duluan: “Dari mana?” sapanya.

“Dari Jakarta,” jawabku, sekalian menjelaskan bahwa saya wartawan, hendak meliput jajak pendapat.

Entah kenapa, masing-masing kami cepat larut dalam obrolan. Dia tak ragu mengungkapkan dirinya. Dia adalah mantan panglima pasukan pro-integrasi, yang tak pernah surut semangatnya memerangi Fretilin [organisasi pro-kemerdekaan], “karena bersama Portugis, mereka membantai keluarga saya,” katanya. Suaranya dalam, dengan tekanan emosi yg terkendali. Terkesan kuat dia lelaki matang yang telah banyak makan asam garam kehidupan. Tebaran uban di rambut gondrongnya menguatkan kesan kematangan itu.

“Panggil saja saya Laffae,” katanya.

“Itu nama Timor atau Portugis?” Saya penasaran.

“Timor. Itu julukan dari kawan maupun lawan. Artinya ‘buaya’,” jelasnya lagi.

Julukan itu muncul karena sebagai komandan milisi, dia dan pasukannya sering tak terdeteksi lawan. Setelah lawan merasa aman, tiba-tiba dia bisa muncul di tengah pasukan lawannya dan melahap semua yang ada di situ. Nah, menurut anak buah maupun musuhnya, keahlian seperti itu dimiliki buaya.

Dia pun bercerita bahwa dia lebih banyak hidup di hutan, tapi telah mendidik, melatih banyak orang dalam berpolitik dan berorganisasi. “Banyak binaan saya yang sudah jadi pejabat,” katanya. Dia pun menyebut sejumlah nama tokoh dan pejabat militer Indonesia yang sering berhubungan dengannya.

Rupanya dia seorang tokoh. Memang, dilihat dari tongkrongannya, tampak sekali dia seorang petempur senior. Saya teringat tokoh pejuang Kuba, Che Guevara. Hanya saja ukuran badannya lebih kecil.

“Kalau dengan Eurico Guterres? Sering berhubungan?” saya penasaran.

“Dia keponakan saya,” jawab Laffae. “Kalau ketemu, salam saja dari saya.”