Friday, August 21, 2015

KEGIATAN YANG PALING MENGURAS EMOSI ….


Kalau ditanya …Kegiatan mana ?
yang paling menguras emosi dalam organisasi ?, jawabannya adalah pendidikan dasar, alias penerimaan anggota baru. Bukan kegiatan prestatif semacam lomba kebut gunung Burangrang Mountain Race (BMR) yg berskala nasional. Bukan pula kegiatan sosial ekologis mirip JB – OSH. Bukan SAR , bahkan rescue sekelas tsunami di Aceh tempo hari. Tidak juga dengan model latihan gabungan antar organisasi.
Kalau ditanya …mengapa ?
Maka saya pribadi akan menjawab, …. Karena yang akan diajarkan bukan sebatas keahlian teknis semata ( technical expertize ), namun penurunan sebuah tata-nilai, sebuah belief system, yang telah mentradisi selama puluhan tahun. Sebuah proses yang sama sekali bukan instan. Kadang memakan waktu bertahun tahun, mulai dari saat pendaftaran sampai menjadi seseorang anggota dianggap “mampu”.
Apapun yang dijadikan dasar metoda, baik dengan cara dikdas model home-base (W) atau gaya mentoring (M), tujuan akhirnya akan sama. Menjadikan seorang anggota yang tidak saja mampu membuat program, namun juga mampu melaksanakannya dilapangan, sesuai dengan kaidah-kaidah standar keumuman dan keharusan, plus tata-nilai khas yang telah digariskan.
Jika kita kaji lebih jauh, usaha sistemik dimaksud , akan menjalani prosesi tahapan hierarkis sbb ( lihat gambar ) :
1. Tahap KLASIFIKASI bakat dan minat . Dalam pengertian penyaringan calon anggota di tahap awal. Baik secara sederhana atau yang lebih kompleks, sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kemampuan tiap organisasi.
2. Tahap penyamaan PERSEPSI. Dalam tahapan ini mulai diperkenalkan kebiasaan, bahasa dan teori teknis , biasanya disebut sebagai ajang pra-diklat.
3. Tahap pembentukan KUALIFIKASI. Seluruh pemahaman teoretis dalam pra diklat dilaksanakan secara langsung di lapangan yang sesungguhnya. Metoda yang dilakukan bukan lagi simulasi, namun partisi patorik alias imersion learning atau “going in to the object it sef”. Hal ini merupakan keniscayaan, karena softskills akan mengambil peran yang lebih dominan. Penjabaran mudahnya, biasanya dalam bentuk pelaksanaan prosesi “gunung-hutan”, baik dengan cara home-base maupun flying-camp.
4. Tahap KOMPETENSI. Pada tahapan ini umumnya adalah untuk mentransformasikan keahlian lapangan ( kualifikasi ) kedalam bentuk dan manfaat yang lain. Pendekatan komparatif, atau validasi dari disiplin ilmu yang lain juga biasa digunakan. Umumnya diberikan saat masa bimbingan setelah tahap gunung-hutan.
5. Tahap penentuan POSISI. Ketika kualifikasi dan kompetensi dasar telah dimiliki, maka selanjutnya adalah tahap uji-coba yang dilakukan secara mandiri, tanpa bantuan atau mentoring dari senior. Dikenal dengan masa pengembaraan awal, dimana calon anggota mencoba menempatkan posisi-diri , dimata masyarakat yang dilalui / dikunjungi, dan sekaligus sebagai calon anggota dalam internal organisasi.
6. Tahap pembentukan VISI. Setelah pulang dari pengembaraan, tugas calon anggota adalah membuat laporan / makalah perjalanan. Isinya sesungguhnya adalah sebuah visi. Sebuah pandangan subjektif dari seseorang yang mengklaim sudah punya posisi, sehingga sah untuk memiliki penilaian atas sebuah kondisi dan realitas yang dihadapinya sepanjang perjalanan / pengembaraan.
7. Tahap penentuan MISI. Seluruh pandangan tadi (vision) harus dipertanggung-jawabkan dalam sejumlah rangkaian sidang. Bukan sebatas sudut pandang keilmuan, namun juga dari cara pandang nya (paradigma). Hal ini penting, karena cara pandang akan menjabarkan kepemilikan sebuah kultur baru, sesuai dengan belief-system komunitas yang dimasukinya. Dalam hal ini berupa “kontribusi dirinya dimasa depan” selaku Pecinta Alam. Akhir dari sidang umumnya berupa ketetapan organisasi yang menerimanya sebagai anggota baru, termasuk memiliki NRP. Di Jana Buana sidang NRP ini, biasa disebut sebagai sidang “kopi pahit”.
8. Tahap Rencana strategis / RENSTRA. Kontribusi diri, harus direncanakan dalam bentuk terukur, disesuaikan dengan masa-bakti seperti yang diharuskan oleh organisasinya. Setiap anggota baru, menyesuaikan diri dengan renstra organisasi agar bisa berjalan secara harmonis. Masa bakti, umumnya sekitar 3 tahun, merupakan usaha setiap anggota baru, untuk menetapkan kontribusi nyatanya selama periode tersebut.
9. Tahap rencana taktis / RENTAK. Penjadwalan kontribusi diri dalam rentang waktu yang lebih pendek, umumnya bersifat tahunan. Seperti mengikuti berbagai seminar, pengembaraan, latihan gabungan, pendidikan spesialisasi, dsb.
10. Tahap rencana teknis / RENTEK. Jangka waktu lebih pendek. Umumnya berdurasi 1 – 3 bulanan. Tentang rencana kerja yang akan diikutinya dalam bentuk program-program kerja.
11. Tahap Pembuatan PROGRAM nyata. Seluruh kontribusi diri dan organisasi, tak akan bermakna apa-apa jika tidak dijabarkan dalam bentuk program nyata. Masa bakti dituangkan dalam bentuk keikut sertaan dirinya dalam penyusunan dan perencanaan program-program, bersama dengan pengurus.
12. Tahap PELAKSANAAN program. Ikut serta dalam melakukan eksekusi program, dilapangan secara langsung. Hal ini akan menaikan derajat kemampuan diri dalam konteks kualifikasi maupun kompentensi diri.
Jadi jika kembali diurut kronologi sistem pendidikan dasar, intinya adalah kembali pada konteks “pemberdayaan manusia”, yang konsisten dengan nilai-nilai kultural yang telah menjadi tradisi yaitu human-value. Adapun metoda, materi ajar, sistem kurikulum, rambu-rambu, dll., adalah perangkat agar tujuan hakiki dari sistem pendidikan dan latihan dasar itu tercapai.
Satu hal yang sangat penting.
Bencana atau musibah, baik insiden maupun aksiden, umumnya terjadi karena sebuah sistem mengalami set-back. Sistem akan mengami set-back, jika sebuah atau beberapa urutan kronologis di lompati, lalu pada sebuah momen tertentu, sistem akan mundur kembali pada tahapan yang “bolong” tadi.
Persoalannya adalah, setiap sistem set-back akan memakan biaya,
dan yang paling berat tentu berupa “social-cost”,
yang bisa saja berupa materi,
bahkan nyawa ……
Konsekwensi ini,
yang membuat pendidikan dasar
Amat sangat menguras emosi
Yat Lessie.

No comments:

Post a Comment