Monday, July 6, 2015

Sanggabuana Ditelantarkan Tiga Kesatuan Pemangku Hutan


Kerusakan parah yang terjadi di puncak gunung Sanggabuana seolah dibiarkan tiga Kesatuan Pemangku Hutan (KPH), yang bertanggung jawab atas keberadaan gunung berketinggian 1.291 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut.
Disebutkan aktivis lingkungan Oepas Korak, Ahmad, berada di tiga wilayah kawasan hutan KPH Purwakarta, KPH Bogor, dan KPH Cianjur, ternyata tidak membuat puncak gunung Sanggabuana terjaga baik, bahkan terkesan ditelantarkan. Padahal, kelestarian gunung tersebut sangat diandalkan untuk mencukupi kebutuhan hidup masyarakat yang tinggal di kaki gunung seperti masyarakat Kampung Jayanti, Desa Mekarbuana, Kecamatan Tegalwaru.
Berdasarkan penelusuran RAKA bersama tim Oepas Korak bebe
rapa waktu lalu, kondisi puncak gunung tertinggi di Kabupaten Karawang itu mengkhawatirkan. Selain disulap menjadi pemukiman plus warung, di beberapa titik terlihat perkebunan kopi. Bahkan, keberadaan 'maqam' di puncak tersebut mendukung kerusakan lebih parah, karena mayoritas peziarah nakal kerap membuang sampah, mengambil kulit kayu, dan membakar batang pohon untuk perapian. Selain itu ditemukan pula pakaian dalam perempuan dan laki-laki di aliran hulu sungai Cigentis. "Kami sudah beberapa kali mengadukan hal ini kepada KPH Purwakarta melalui Asisten Perhutani (Asper) Pangkalan, namun tidak ada tindakan nyata," ujarnya.
Melihat tidak adanya progres yang dilakukan KPH untuk melindungi gunung Sanggabuana, pihaknya bersama seluruh aktivis lingkungan berencana mengadukan hal itu ke Kementerian Kehutanan (Kemenhut). "Satu-satunya harapan kami adalah Kemenhut. Kami harap nantinya Kemenhut melakukan sidak ke Sanggabuana, agar kondisi mengkhawatirkan ini bisa ditanggulangi," paparnya.
Bahkan, beberapa waktu lalu warga beserta aparat Desa Mekarbuana sempat bermusyawarah dan meminta agar status gunung tersebut dirubah menjadi hutan lindung. "Memang Sanggabuana hingga saat ini statusnya sebagai hutan produktif, hal itupula yang menyebabkan seolah hutan ini sengaja dibiarkan. Tapi melihat kenyataan sekarang, gunung ini menjadi harapan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup, semisal kebutuhan air. Selain itu, kestabilan ekosistem yang ada, sangat berpengaruh terhadap kehidupan warga setempat," ungkapnya.
botol berserakan di puncak gunung sanggabuana
Dikatakan Kepala Desa Mekarbuana, Andi, perubahan status tersebut akan mempermudah pihaknya untuk melakukan konservasi, dan menindak pelaku perusakan hutan dengan mendirikan bangunan di wilayah Gunung Sanggabuana. "Sampai kapanpun, apabila status Sanggabuana belum berubah, maka selamanya petugas dan pemerhati lingkungan akan terkendala dalam melakukan pengarahan dan perbaikan," tandasnya.
Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Sanggabuana, mengingatkan masyarakat sekitar hutan agar jangan merusak hutan di Gunung Sanggabuana. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Ketua LMDH Sanggabuana, Enim, mengatakan pihaknya terus melakukan penyuluhan dan penyadaran pada masyarakat agar lebih peduli pada kelestarian hutan yang ada di sekitar gunung Sanggabuana. Menurutnya, salah satu alasan latar belakang dibentuknya LMDH, adalah melihat kerusakan hutan yang semakin parah, maka untuk menjaga hutan diperlukan kerjasama dengan masyarakat sekitar hutan yang terangkum dalam Desa. "Mengingat keberadaan petugas di lapangan sangatlah kurang, di sisi lain hutan merupakan amanat negara pada Perusahaan Umum (Perum) Perhutani yang harus tetap terjaga," ujarnya.
Seperti telah diketahui, efek kerusakan hutan Gunung Sanggabuana mulai dirasakan masyarakat sekitar kawasan hutan. Bukan hanya longsor, saat ini beberapa sungai mulai kering. Akibatnya, masyarakat sudah tidak bisa melihat dan memanfaatkan air Sungai Cibalisuk. "Hulu Sungai Cibalisuk ada di Gunung Sanggabuana," tutur Ubuh, salah seorang aktivis Oepas Korak.
Menurutnya, meski saat ini masih sering hujan, namun ada beberapa sungai yang debit airnya justru berkurang. Seperti sungai di Sigarung yang beberapa tahun lalu debit airnya cukup banyak, hingga untuk melewatinya harus meloncat. Selain itu, Pancuran Kadijayaan saat ini sama sekali kering.
Salah satu pembina Sispala SMK Muhammadiyah Cikampek, Lukmah Buntara, mengatakan, menjadi kewajiban bagi seluruh manusia untuk mempertahankan lingkungan dalam kondisi bersih, indah dan lestari. Karena hanya dengan cara itulah keberlangsungan hidup umat manusia dapat bertahan. Lingkungan yang sudah rusak dan tercemar sudah selayaknya dikembalikan pada kondisi semula. "Hal itu semua kembali pada diri kita masing-masing, karena dengan kesadaran diri upaya melestarikan lingkungan itu dapat dijalankan," ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, RAKA belum bisa mengkonfirmasi KPH Purwakarta, Bogor, dan Cianjur. (*)

No comments:

Post a Comment