KITA tak akan pernah tahu kapan maut menjemput. Di El Jadida, Maroko, seorang presenter tv menemui ajalnya saat siaran langsung. Sebuah video yang sudah beredar luas sejak 22 Agustus (saat diunggah) di sejumlah situs online, menggambarkan kematian tragis seorang presenter tv. Dia tampak masih muda dan energik. Pria itu tampak memegang mikrofon, melaporkan sebuah ajang penghargaan live sports. Mendadak dia pingsan dan seketika jatuh ke lantai di depan ribuan penonton event. Dalam rekaman, dia kemudian dikerumuni.
Dilansir dari Mirror, Senin (24/8), sejumlah laporan berita lokal menyebutkan dia meninggal karena serangan jantung. Tak disebutkan identitas lengkap dari presenter yang meninggal dalam tugas ini. (*)
Sandhi Buana
Tuesday, August 25, 2015
Friday, August 21, 2015
KEGIATAN YANG PALING MENGURAS EMOSI ….
Kalau ditanya …Kegiatan mana ?
yang paling menguras emosi dalam organisasi ?, jawabannya adalah pendidikan dasar, alias penerimaan anggota baru. Bukan kegiatan prestatif semacam lomba kebut gunung Burangrang Mountain Race (BMR) yg berskala nasional. Bukan pula kegiatan sosial ekologis mirip JB – OSH. Bukan SAR , bahkan rescue sekelas tsunami di Aceh tempo hari. Tidak juga dengan model latihan gabungan antar organisasi.
yang paling menguras emosi dalam organisasi ?, jawabannya adalah pendidikan dasar, alias penerimaan anggota baru. Bukan kegiatan prestatif semacam lomba kebut gunung Burangrang Mountain Race (BMR) yg berskala nasional. Bukan pula kegiatan sosial ekologis mirip JB – OSH. Bukan SAR , bahkan rescue sekelas tsunami di Aceh tempo hari. Tidak juga dengan model latihan gabungan antar organisasi.
Kalau ditanya …mengapa ?
Maka saya pribadi akan menjawab, …. Karena yang akan diajarkan bukan sebatas keahlian teknis semata ( technical expertize ), namun penurunan sebuah tata-nilai, sebuah belief system, yang telah mentradisi selama puluhan tahun. Sebuah proses yang sama sekali bukan instan. Kadang memakan waktu bertahun tahun, mulai dari saat pendaftaran sampai menjadi seseorang anggota dianggap “mampu”.
Maka saya pribadi akan menjawab, …. Karena yang akan diajarkan bukan sebatas keahlian teknis semata ( technical expertize ), namun penurunan sebuah tata-nilai, sebuah belief system, yang telah mentradisi selama puluhan tahun. Sebuah proses yang sama sekali bukan instan. Kadang memakan waktu bertahun tahun, mulai dari saat pendaftaran sampai menjadi seseorang anggota dianggap “mampu”.
Apapun yang dijadikan dasar metoda, baik dengan cara dikdas model home-base (W) atau gaya mentoring (M), tujuan akhirnya akan sama. Menjadikan seorang anggota yang tidak saja mampu membuat program, namun juga mampu melaksanakannya dilapangan, sesuai dengan kaidah-kaidah standar keumuman dan keharusan, plus tata-nilai khas yang telah digariskan.
Jika kita kaji lebih jauh, usaha sistemik dimaksud , akan menjalani prosesi tahapan hierarkis sbb ( lihat gambar ) :
1. Tahap KLASIFIKASI bakat dan minat . Dalam pengertian penyaringan calon anggota di tahap awal. Baik secara sederhana atau yang lebih kompleks, sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kemampuan tiap organisasi.
2. Tahap penyamaan PERSEPSI. Dalam tahapan ini mulai diperkenalkan kebiasaan, bahasa dan teori teknis , biasanya disebut sebagai ajang pra-diklat.
3. Tahap pembentukan KUALIFIKASI. Seluruh pemahaman teoretis dalam pra diklat dilaksanakan secara langsung di lapangan yang sesungguhnya. Metoda yang dilakukan bukan lagi simulasi, namun partisi patorik alias imersion learning atau “going in to the object it sef”. Hal ini merupakan keniscayaan, karena softskills akan mengambil peran yang lebih dominan. Penjabaran mudahnya, biasanya dalam bentuk pelaksanaan prosesi “gunung-hutan”, baik dengan cara home-base maupun flying-camp.
4. Tahap KOMPETENSI. Pada tahapan ini umumnya adalah untuk mentransformasikan keahlian lapangan ( kualifikasi ) kedalam bentuk dan manfaat yang lain. Pendekatan komparatif, atau validasi dari disiplin ilmu yang lain juga biasa digunakan. Umumnya diberikan saat masa bimbingan setelah tahap gunung-hutan.
5. Tahap penentuan POSISI. Ketika kualifikasi dan kompetensi dasar telah dimiliki, maka selanjutnya adalah tahap uji-coba yang dilakukan secara mandiri, tanpa bantuan atau mentoring dari senior. Dikenal dengan masa pengembaraan awal, dimana calon anggota mencoba menempatkan posisi-diri , dimata masyarakat yang dilalui / dikunjungi, dan sekaligus sebagai calon anggota dalam internal organisasi.
6. Tahap pembentukan VISI. Setelah pulang dari pengembaraan, tugas calon anggota adalah membuat laporan / makalah perjalanan. Isinya sesungguhnya adalah sebuah visi. Sebuah pandangan subjektif dari seseorang yang mengklaim sudah punya posisi, sehingga sah untuk memiliki penilaian atas sebuah kondisi dan realitas yang dihadapinya sepanjang perjalanan / pengembaraan.
7. Tahap penentuan MISI. Seluruh pandangan tadi (vision) harus dipertanggung-jawabkan dalam sejumlah rangkaian sidang. Bukan sebatas sudut pandang keilmuan, namun juga dari cara pandang nya (paradigma). Hal ini penting, karena cara pandang akan menjabarkan kepemilikan sebuah kultur baru, sesuai dengan belief-system komunitas yang dimasukinya. Dalam hal ini berupa “kontribusi dirinya dimasa depan” selaku Pecinta Alam. Akhir dari sidang umumnya berupa ketetapan organisasi yang menerimanya sebagai anggota baru, termasuk memiliki NRP. Di Jana Buana sidang NRP ini, biasa disebut sebagai sidang “kopi pahit”.
8. Tahap Rencana strategis / RENSTRA. Kontribusi diri, harus direncanakan dalam bentuk terukur, disesuaikan dengan masa-bakti seperti yang diharuskan oleh organisasinya. Setiap anggota baru, menyesuaikan diri dengan renstra organisasi agar bisa berjalan secara harmonis. Masa bakti, umumnya sekitar 3 tahun, merupakan usaha setiap anggota baru, untuk menetapkan kontribusi nyatanya selama periode tersebut.
9. Tahap rencana taktis / RENTAK. Penjadwalan kontribusi diri dalam rentang waktu yang lebih pendek, umumnya bersifat tahunan. Seperti mengikuti berbagai seminar, pengembaraan, latihan gabungan, pendidikan spesialisasi, dsb.
10. Tahap rencana teknis / RENTEK. Jangka waktu lebih pendek. Umumnya berdurasi 1 – 3 bulanan. Tentang rencana kerja yang akan diikutinya dalam bentuk program-program kerja.
11. Tahap Pembuatan PROGRAM nyata. Seluruh kontribusi diri dan organisasi, tak akan bermakna apa-apa jika tidak dijabarkan dalam bentuk program nyata. Masa bakti dituangkan dalam bentuk keikut sertaan dirinya dalam penyusunan dan perencanaan program-program, bersama dengan pengurus.
12. Tahap PELAKSANAAN program. Ikut serta dalam melakukan eksekusi program, dilapangan secara langsung. Hal ini akan menaikan derajat kemampuan diri dalam konteks kualifikasi maupun kompentensi diri.
Jadi jika kembali diurut kronologi sistem pendidikan dasar, intinya adalah kembali pada konteks “pemberdayaan manusia”, yang konsisten dengan nilai-nilai kultural yang telah menjadi tradisi yaitu human-value. Adapun metoda, materi ajar, sistem kurikulum, rambu-rambu, dll., adalah perangkat agar tujuan hakiki dari sistem pendidikan dan latihan dasar itu tercapai.
Satu hal yang sangat penting.
Bencana atau musibah, baik insiden maupun aksiden, umumnya terjadi karena sebuah sistem mengalami set-back. Sistem akan mengami set-back, jika sebuah atau beberapa urutan kronologis di lompati, lalu pada sebuah momen tertentu, sistem akan mundur kembali pada tahapan yang “bolong” tadi.
Bencana atau musibah, baik insiden maupun aksiden, umumnya terjadi karena sebuah sistem mengalami set-back. Sistem akan mengami set-back, jika sebuah atau beberapa urutan kronologis di lompati, lalu pada sebuah momen tertentu, sistem akan mundur kembali pada tahapan yang “bolong” tadi.
Persoalannya adalah, setiap sistem set-back akan memakan biaya,
dan yang paling berat tentu berupa “social-cost”,
yang bisa saja berupa materi,
bahkan nyawa ……
dan yang paling berat tentu berupa “social-cost”,
yang bisa saja berupa materi,
bahkan nyawa ……
Konsekwensi ini,
yang membuat pendidikan dasar
Amat sangat menguras emosi
yang membuat pendidikan dasar
Amat sangat menguras emosi
Yat Lessie.
Saturday, July 18, 2015
Hitler Dies in Indonesia
German Nazi leader Adolf Hitler declared dead suicide in the bunker ,
denied the news page of the Daily Telegraph , Monday, September 28, 2009 , the History Channel Documentary Program USA . The Daily Telegraph said, if Russia saved Hitler 's skull does not belong to the Fuhrer . Rather , the skull belonged to women aged under 40 years .
In Indonesia , circulated an information stating Hitler did not die in 1945. He managed to escape to Indonesia and became a doctor in Sumbawa Besar .
It was raised after finding an old book written using shorthand language of the ancient German . Actually the book without a title , so it appears some of the terms for the call , such as the ' Brandenburg Codex '.
The book contains a record of saving the Fuhrer of Berlin until the last possibility is Surabaya . The book was reinforced by a personal note Doctor Poch , a German citizen in Sumbawa doctor who is believed to be the real Adolf Hitler
In a note Poch , he and his wife avoid pursuit ally left Rome , exactly from the old book , that the code is FBSGJBS R. Namely F which means Fuhrer ( leader ), and B ( Berlin ) , S ( Salzburg ) , G ( Graz ) , J ( Yugoslavia ) , B ( Belgrade ) , S ( Sarajevo ) , R ( Rome ) , before finally flying to Sumbawa Besar .
Poch own doctor identified as the real Hitler by a doctor graduated from the University of Indonesia ( UI ) , Dr. Sosrohusodo , who served in hospitals in Sumbawa . Dr Sosrohusodo even write these experiences in an article in People's Daily Thoughts approximately 1983 .
In writing the article, Dr. Sosrohusodo mention if he met an old doctor from Germany named Poch in Sumbawa in 1960 .
denied the news page of the Daily Telegraph , Monday, September 28, 2009 , the History Channel Documentary Program USA . The Daily Telegraph said, if Russia saved Hitler 's skull does not belong to the Fuhrer . Rather , the skull belonged to women aged under 40 years .
In Indonesia , circulated an information stating Hitler did not die in 1945. He managed to escape to Indonesia and became a doctor in Sumbawa Besar .
It was raised after finding an old book written using shorthand language of the ancient German . Actually the book without a title , so it appears some of the terms for the call , such as the ' Brandenburg Codex '.
The book contains a record of saving the Fuhrer of Berlin until the last possibility is Surabaya . The book was reinforced by a personal note Doctor Poch , a German citizen in Sumbawa doctor who is believed to be the real Adolf Hitler
In a note Poch , he and his wife avoid pursuit ally left Rome , exactly from the old book , that the code is FBSGJBS R. Namely F which means Fuhrer ( leader ), and B ( Berlin ) , S ( Salzburg ) , G ( Graz ) , J ( Yugoslavia ) , B ( Belgrade ) , S ( Sarajevo ) , R ( Rome ) , before finally flying to Sumbawa Besar .
Poch own doctor identified as the real Hitler by a doctor graduated from the University of Indonesia ( UI ) , Dr. Sosrohusodo , who served in hospitals in Sumbawa . Dr Sosrohusodo even write these experiences in an article in People's Daily Thoughts approximately 1983 .
In writing the article, Dr. Sosrohusodo mention if he met an old doctor from Germany named Poch in Sumbawa in 1960 .
Thursday, July 9, 2015
JADILAH SAFETY PLAYER DAN ANAK NEGERI INI TAK AKAN PERNAH KEMANA-MANA
Beritanya terpetik minggu kemaren ( Koran Pikiran Rakyat edisi 26 November 2013 ), ketika sebuah korban kembali jatuh. Sebuah organisasi Pecinta Alam Bramatala yang UKM nya Univ Widyatama Bandung tikarnya harus digulung. Alasannya pada saat pendidikan dasar, ada siswa yang meninggal dunia.
Tentunya berita duka, seorang siswa meninggal dunia harus menjadi bahan pelajaran berguna bagi kita semua. Seharusnya menjadi bahan renungan, dan sekaligus menyampaikan salam duka bagi keluarga yang ditinggalkannya.
Namun terlepas dari kedukaan tadi, sesungguhnya ada kalimat tanya dihubungkan dengan pembredelan organisasinya. Quo vadis sistem pendidikan nasional kita ?.....
Silahkan cek, semua organisasi PA yang tikarnya digulung oleh para pemegang otoritas pendidikan di negeri ini ( apalagi di tingkat SLTA ), adalah konon karena kegiatannya mengandung resiko, terlalu beresiko, begitulah alasannya. Saat resiko itu terjadi, sep
erti kecelakaan bahkan kematian, maka lembaga pendidikanlah yg kena getahnya. Salah satunya adalah “citra” lembaga menurun, akibatnya kekurangan mahasiswa, akibatnya lagi pemasukan keuangan akan seret. Lalu “bisnis” pendidikan akan layu dan mati.
Jadi wajar dalam pemikiran mereka, apapun yang berbau resiko harus dibuang jauh-jauh, karena hal itu akan menggoyang kemapanan citra. Sang “resiko” menjadi kartu mati yg harus dihindarkan, dan pelajaran untuk menjadi “safety player”, inilah yang tengah di “ajarkan” oleh para pemangku lembaga pendidikan tinggi. Sengaja kata “pengajaran” yg dipilih, karena pengajaran layaknya kursus, hanya berbicara dari pandangan teknis hardskills saja. Sebaliknya dengan sistem pendidikan, selain hardskills juga berisi wawasan softskills, yang kelak akan menjadi fondamen bari kerangka sistem nilai, sebuah “value system”.
Jadilah safety player, itu yang kami tolak. Bahwa basis pendidikan Pecinta Alam Indonesia bersumber dari kepanduan dunia. Saat pandu di pramuka kan, maka sejak itu pula organisasi PA tumbuh subur di negeri ini. Buku “Adventuring to Manhood” dari Lord Baden Powel of Gilwell menjadi rujukan sejak awal. Manhood bukan kejantanan dalam pemahaman macho yang kering dan eksploitatif, namun lebih ke feminis yang bersahabat, ekologis serta dipenuhi nilai-nilai integratif.
Organisasi Pecinta Alam mendidik anggotanya untuk menjadi seorang risk-taker. Resiko hanya ada untuk dihadapi dan dikelola dengan baik. Resiko adalah alat untuk maju, resiko adalah stress yang positip, resiko untuk menaikan kesiagaan diri, resiko yang membuat seseorang tetap sadar pada kekinian dan kedisinian ( aktual dan faktual ). Resiko adalah kesempatan, resiko adalah harga yang pantas untuk dibayar
demi kemajuan diri, dan bla bla bla lainnya. Saat lembaga pendidikan meng amputasi pelajaran tentang risk-taking, maka yg muncul adalah para safety-player, yang jumlahnya semakin bejibun di negeri ini.
Para safety player bicara tentang pengamanan diri, seluruh resiko ditiadakan jika perlu. Bahkan bukan hanya dirinya, namun sampai 7 turunan dia amankan. Berdiam di gedung dengan pagar tinggi, dengan sekuriti di gerbangnya, dan tentu saja dengan uang miliaran di depositonya. Lalu siapakah mereka ini ?. Tentu saja para birokrat teknokrat, yang notabene produk lulusan perguruan tinggi, yang saat ini banyak berurusan dengan KPK. Nampaknya mata kuliah “ how to become the safety player” sudah lebih mendarah daging.
Namun segelintir kecil para siswa dan mahasiswa tetap tak setuju dengan pendapat sang profesor. Mereka masih tetap konsisten untuk menjadi “risk taker” sekalipun nyawa yg sering menjadi taruhannya. Mereka ini yang menuruni jurang 500 meter saat pesawat Sukhoi jatuh di gn Salak. Mereka ini yang memunguti ribuan serpihan mayat saat tsunami di Aceh, tanpa mengindahkan belatung maupun kutu mayat. Mereka pula yang memobilisasi penduduk gn Papandayan, ditengah ancaman letusan sang dewa gunung. Dan jangan lupa mereka pula yang membawa kebanggan saat sang Saka Merah Putih ditancapkan di 7 puncak tertinggi di dunia ( the Seven Summit ), yang setidaknya telah dilakukan oleh 2 organisasi Pecinta Alam dan Pendaki Gunung dari Bandung, yaitu Wanadri dan Mahitala Unpar.
Pak profesor yg terhormat, kami lebih mempercayai ungkapan seorang pendahulu kami, yang berujar : “ A person who walk on the ridge burried deep in snow, a person who enter the forest and sleep under the sky on the mountain meadow. Those persons will give their country, the indomitable spirit of the mountain. “ ….. Merekalah para pengembara, yang kelak akan menyumbangkan bagi negaranya “ketangguhan” layaknya sebuah gunung.
Sayang pelajaran tentang resiko dan ketangguhan itu, sekarang kembali harus di amputasi dalam sistem pendidikan kita. Sayang hanya safety player yang diajarkan, yang membuat para birokrat masuk penjara, dan membuat para generasi muda lebih suka bergerombol di mall-mall, hanya untuk memanjakan syahwat dugem serta hedonisme belaka… dan anak-anak negeri ini tak akan pernah kamana mana…!!!
Sekali lagi pak profesor, disinilah mungkin pencabangan jalan harus terjadi. Anda dengan jalan anda, dan kami tetap di jalan yg kami tempuh saat ini.
Jayalah Pecinta Alam Indonesia, negeri tetap menunggu baktimu….
Yat lessie
Tentunya berita duka, seorang siswa meninggal dunia harus menjadi bahan pelajaran berguna bagi kita semua. Seharusnya menjadi bahan renungan, dan sekaligus menyampaikan salam duka bagi keluarga yang ditinggalkannya.
Namun terlepas dari kedukaan tadi, sesungguhnya ada kalimat tanya dihubungkan dengan pembredelan organisasinya. Quo vadis sistem pendidikan nasional kita ?.....
Silahkan cek, semua organisasi PA yang tikarnya digulung oleh para pemegang otoritas pendidikan di negeri ini ( apalagi di tingkat SLTA ), adalah konon karena kegiatannya mengandung resiko, terlalu beresiko, begitulah alasannya. Saat resiko itu terjadi, sep
erti kecelakaan bahkan kematian, maka lembaga pendidikanlah yg kena getahnya. Salah satunya adalah “citra” lembaga menurun, akibatnya kekurangan mahasiswa, akibatnya lagi pemasukan keuangan akan seret. Lalu “bisnis” pendidikan akan layu dan mati.
Jadi wajar dalam pemikiran mereka, apapun yang berbau resiko harus dibuang jauh-jauh, karena hal itu akan menggoyang kemapanan citra. Sang “resiko” menjadi kartu mati yg harus dihindarkan, dan pelajaran untuk menjadi “safety player”, inilah yang tengah di “ajarkan” oleh para pemangku lembaga pendidikan tinggi. Sengaja kata “pengajaran” yg dipilih, karena pengajaran layaknya kursus, hanya berbicara dari pandangan teknis hardskills saja. Sebaliknya dengan sistem pendidikan, selain hardskills juga berisi wawasan softskills, yang kelak akan menjadi fondamen bari kerangka sistem nilai, sebuah “value system”.
Jadilah safety player, itu yang kami tolak. Bahwa basis pendidikan Pecinta Alam Indonesia bersumber dari kepanduan dunia. Saat pandu di pramuka kan, maka sejak itu pula organisasi PA tumbuh subur di negeri ini. Buku “Adventuring to Manhood” dari Lord Baden Powel of Gilwell menjadi rujukan sejak awal. Manhood bukan kejantanan dalam pemahaman macho yang kering dan eksploitatif, namun lebih ke feminis yang bersahabat, ekologis serta dipenuhi nilai-nilai integratif.
Organisasi Pecinta Alam mendidik anggotanya untuk menjadi seorang risk-taker. Resiko hanya ada untuk dihadapi dan dikelola dengan baik. Resiko adalah alat untuk maju, resiko adalah stress yang positip, resiko untuk menaikan kesiagaan diri, resiko yang membuat seseorang tetap sadar pada kekinian dan kedisinian ( aktual dan faktual ). Resiko adalah kesempatan, resiko adalah harga yang pantas untuk dibayar
demi kemajuan diri, dan bla bla bla lainnya. Saat lembaga pendidikan meng amputasi pelajaran tentang risk-taking, maka yg muncul adalah para safety-player, yang jumlahnya semakin bejibun di negeri ini.
Para safety player bicara tentang pengamanan diri, seluruh resiko ditiadakan jika perlu. Bahkan bukan hanya dirinya, namun sampai 7 turunan dia amankan. Berdiam di gedung dengan pagar tinggi, dengan sekuriti di gerbangnya, dan tentu saja dengan uang miliaran di depositonya. Lalu siapakah mereka ini ?. Tentu saja para birokrat teknokrat, yang notabene produk lulusan perguruan tinggi, yang saat ini banyak berurusan dengan KPK. Nampaknya mata kuliah “ how to become the safety player” sudah lebih mendarah daging.
Namun segelintir kecil para siswa dan mahasiswa tetap tak setuju dengan pendapat sang profesor. Mereka masih tetap konsisten untuk menjadi “risk taker” sekalipun nyawa yg sering menjadi taruhannya. Mereka ini yang menuruni jurang 500 meter saat pesawat Sukhoi jatuh di gn Salak. Mereka ini yang memunguti ribuan serpihan mayat saat tsunami di Aceh, tanpa mengindahkan belatung maupun kutu mayat. Mereka pula yang memobilisasi penduduk gn Papandayan, ditengah ancaman letusan sang dewa gunung. Dan jangan lupa mereka pula yang membawa kebanggan saat sang Saka Merah Putih ditancapkan di 7 puncak tertinggi di dunia ( the Seven Summit ), yang setidaknya telah dilakukan oleh 2 organisasi Pecinta Alam dan Pendaki Gunung dari Bandung, yaitu Wanadri dan Mahitala Unpar.
Pak profesor yg terhormat, kami lebih mempercayai ungkapan seorang pendahulu kami, yang berujar : “ A person who walk on the ridge burried deep in snow, a person who enter the forest and sleep under the sky on the mountain meadow. Those persons will give their country, the indomitable spirit of the mountain. “ ….. Merekalah para pengembara, yang kelak akan menyumbangkan bagi negaranya “ketangguhan” layaknya sebuah gunung.
Sayang pelajaran tentang resiko dan ketangguhan itu, sekarang kembali harus di amputasi dalam sistem pendidikan kita. Sayang hanya safety player yang diajarkan, yang membuat para birokrat masuk penjara, dan membuat para generasi muda lebih suka bergerombol di mall-mall, hanya untuk memanjakan syahwat dugem serta hedonisme belaka… dan anak-anak negeri ini tak akan pernah kamana mana…!!!
Sekali lagi pak profesor, disinilah mungkin pencabangan jalan harus terjadi. Anda dengan jalan anda, dan kami tetap di jalan yg kami tempuh saat ini.
Jayalah Pecinta Alam Indonesia, negeri tetap menunggu baktimu….
Yat lessie
Wednesday, July 8, 2015
Pengalaman Seorang Kaskuser yang Pernah Tinggal di Negara Kuba
Ada baiknya kita merasakan dulu hidup di negara2 penganut salah satu paham yang paling dilarang di negeri ini. Sebelum berkomentar karena bagaimanapun, pengalaman jelas lebih berbicara. Saya pernah 1 tahun tinggal di Cuba dan Venezuela yang secara garis besar menganut paham politik Komunis Marxisme yg di perjuangkan Fidel dan Che serta Chavez.Di Cuba, segala segi kehidupan di sama ratakan. Semua individu adalah sama. Tidak ada satu orang pun yang hidup berlebihan di banding orang lain. Anda tidak akan menemukan satu keluarga bisa jalan2 ke mall sementara keluarga yg lain nggak bisa. Jika hari ini saya makan daging sapi, sudah pasti tetangga saya pun makan daging sapi (walaupun daging sapi sangat mahal di sana). Otomatis, tidak akan ada satu orang pun yg kelaparan. Selama lebih dari setahun saya tinggal di Cuba, tidak sekalipun saya menjumpai adanya pengemis. Apalagi gelandangan atau homeless people. Semua segi kehidupan terjamin. Walaupun negara ini sangat miskin. Tapi yang perlu diperhatikan adalah, Cuba miskin bukan karena kualitas pemerintahan atau warga negaranya, tapi dikarenakan embargo USA yg melarang dunia untuk melakukan perdagangan dengan Cuba hanya karena Cuba menganut paham politik Komunis yg jelas2 menentang Kapitalisme.Kenapa Cuba diembargo sementara Venezuela tidak? Karena Venezuela punya sumber minyak berlimpah. Nggak mungkin diembargo. Itu kan sumber duit luar biasa.Di Cuba, medical treatment dan education murni sepenuhnya di tanggung negara. Anda nggak akan menemukan kasus orang mati karena nggak punya uang untuk berobat saat dia sakit seperti yg terlalu sering terjadi di negara ini. Anda nggak akan menemukan kasus orang bodoh dan nggak bisa baca tulis cuma karena nggak bisa sekolah karena nggak punya uang seperti di sini.Di Cuba, jika anda sakit dan ada seorang dokter menolak untuk melayani anda, dokter itu akan langsung dijebloskan ke penjara.Saya flu aja langsung telpon ambulance kok saking manjanyaGratis pula.Ada satu hal luar biasa di Cuba. Setiap 6 bulan sekali, pemerintah akan melakukan survey ke setiap rumah2 rakyat untuk mengecek perabotan2 apa saja yg sekiranya sudah dalam kondisi tidak layak pakai sehingga harus diganti. Jika kulkas anda rusak, ya akan diganti dgn yg baru. Gratis!Jika sofa anda sudah sangat tidak layak pakai, ya diganti. Gratis! Dsb, dsb.Nah, satu hal paling penting adalah, kebanyakan dari kita orang Indonesia berpikir bahwa negara Komunis itu identik dgn negara atheis anti Tuhan. SALAH BESAR! Hal ini dikarenakan kasus terburuk sepanjang sejarah Indonesia yaitu G30S-PKI yg menyisakan kebencian luar biasa bangsa ini terhadap paham komunis. Kita nggak pernah sadar bahwa negara kita sudah diacak2 USA dgn CIA-nya cuma gara2 mereka takut Bung Karno akan menjadikan negara sebesar Indonesia menjadi negara anti kapitalis dgn NASAKOMnya.G30S-PKI adalah murni rekayasa CIA yg ingin menjatuhkan Bung Karno yg otomatis akan menggagalkan rencana Bung Karno untuk mensosialiskan Indonesia. Maka dibuatlah sebuah kasus besar dgn tokoh sentral Soeharto sebagai pahlawannya. Kebanyakan orang Indonesia tidak tahu ini. Ironisnya seluruh dunia sudah tahu betul soal ini. Bahkan sudah dibukukan. Buku tentang kebohongan2 Amerika dan CIA beredar luas di luar negri. Dalam salah satu chapternya dibahas tentang rekayasa kudeta partai komunis Indonesia yg ternyata didalangi oleh CIA.Bukti bahwa negara Komunis tidak ada hubungannya dgn paham anti Tuhan saya temukan sendiri di Cuba dan Venezuela.Di Cuba, tempat2 ibadah sangat mudah ditemui. Ada dimana2.Saya muslim dan saya selalu melakukan shalat Jumat berjamaah dgn warga Cuba lainnya. Begitu juga dgn umat Kristianinya. Mereka bebas beribadah dimanapun mereka mau. Hal yg sama juga dialami penganut agama lain.Satu lagi kelebihan dari paham Sosialis Cuba adalah dilarang keras membuat organisasi agama apalagi organisasi politik berbasis agama. Karena pemerintah Cuba sadar betul bahwa organisasi agama hanya akan membuat kotak2 pemisah yg pada akhirnya menimbulkan perpecahan yg dapat menggangu stabilitas negara. Apalagi partai politik berbasis agama. Ini lebih kacau lagi. Mencari kekuasaan dgn kedok agama.Lihat saja apa yg terjadi di negara2 yg paham politiknya berdasarkan agama. Lebanon misalnya. Disana Siah dan Suni jelas selamanya akan selalu ribut. Sementara hukum di Lebanon adalah orang yg menjadi presiden di Lebanon wajib beragama Kristen. Umat Islamnya sibuk ribut berebut kekuasaan, tetep aja nggak dapet apa2. Lucu kan?Atau lihat bukti nyata yg terjadi di negara tercinta ini. Umat Islam ribut dgn umat Islam lain cuma karena beda aliran. Umat Islam ribut dgn umat Kristen gara2 paham kepercayaan. Belum lg ormas berbasis agama yg berbuat sesukanya dan nggak peduli bahwa negara ini punya aturan hukum sendiri.Ini semua karena pergerakan dgn basis agama diizinkan. Akhirnya semua merasa sangat benar dgn kepercayaannya masing2 dan timbul kebencian terhadap pihak2 diluar kelompoknya.Hal2 seperti ini tidak akan anda temui di negara2 sosialis. Tapi tetap pemerintah negara2 sosialis memberikan kemerdakaan bagi setiap rakyatnya untuk memeluk agama apapun dan beribadah sesuai kepercayaannya. Tanpa paksaan, tanpa larangan. Minimal itu yg saya rasakan di Cuba dan Venezuela.Jadi Marxisme yang pada perkembangannya menjadi landasan Komunisme atau Sosialisme tidak ada hubungannya dgn agama. Selama berpuluh2 tahun negeri ini sudah dicekokin doktrin yg salah oleh Amerika cuma karena mereka nggak mau kehilangan sumber uang yg luar biasa besar dari Indonesia. Dan mereka benar2 berhasil merampok negeri ini.Marxisme, Komunisme atau Sosialisme adalah paham politik ekonomi. Paham ekonomi yg menyamaratakan segala hak dan kewajiban dalam setiap segi kehidupan rakyat. Jelas paham ini sangat menguntungkan rakyat, Ane pilih Marxisme gan . Cape denger kata2 pengemis yg bilang udah nggak makan 2 hari. Cape liat jutaan anak putus sekolah karena nggak punya uang. Cape dapet kabar temen satu rumah sakit tempat ade ane cuci darah meninggal karena nggak punya uang buat Hemodialisa.
Komandan Resimen 6 Itu Hilang di Warungbambu
Sehari sebelum gencatan senjata dengan Belanda, komandan Resimen 6 Brigade III Divisi Siliwangi bersama tiga orang bawahannya, melakukan inspeksi ke Cibarusah yang terletak di bagian selatan Bekasi. Namun, setelah keesokan harinya, perwira menengah berusia 24 tahun itu tidak kunjung kembali ke markas. Sejak itu, pencarian dilakukan.
Sekarang, menginjak tahun ke 68, di atas untaian puisi sang maestro Chairil Anwar berjudul Karawang-Bekasi, patung peringatan dengan bintang lima di bagian tengahnya itu masih menyisakan misteri. Ya, tugu itu dibuat untuk mengenang bahwa Letkol Surotokunto bersama tiga stafnya yaitu Major Adel Sofyan, Kopral Muhajar, dan Prajurit Murod, hilang tepat di tempat tugu itu berada tanggal 28 November 1946.
Dalam buku yang berjudul Rengasdengklok, Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945 karya Her Suganda, Mantan Asisten Operasi Dokter Suwardjono Surjaningrat saat masih menjabat Menteri Kesehatan menceritakan, saat itu daerah Karawang dan Bekasi menjadi wilayah militer resimen 4. Daerah yang menjadi pertaruhan Republik Indonesia, karena Belanda masih ingin berkuasa. Melalui kaki tangannya, antara lain laskar-laskar rakyat yang pro Hindia-Belanda dan menolak bergabung dengan Tentara Republik Indonesia (TRI), dengan berbagai cara berusaha merongrong Divisi Siliwangi.
Ia melanjutkan, sehari sebelum dilaksanakan gencatan senjata dengan Belanda, Surotokunto dan stafnya melakukan inspeksi ke daerah Cibarusah yang terletak di bagian selatan Bekasi. Turut serta diantaranya kepala Staf Mayor Adel Sofyan, Kopral Muhayar, dan Prajurit Murod. Saat itu Suwardjono berpangkat Kapten. Namun, setelah dinanti sampai keesokan harinya, Letkol Surotokunto dan stafnya tidak kunjung kembali ke markas. Sejak itu pencarian dilakukan. Akan tetapi, yang dijumpai hanya mobil sedan merk Ford yang digunakannya dengan kunci kontaknya masih tergantung. Kendaraan itu ditinggal begitu saja di sisi jalan raya Warungbambu. Ada dugaan keempatnya telah dihadang dan kemudian dipaksa turun dari kendaraan, lalu diculik entah dibawa kemana.
Buktinya, walau usaha pencarian terus dilakukan, Letkol Surotokunto dan stafnya tidak pernah diketahui keberadaannya. Ia dan tiga stafnya diduga kuat telah dihabisi, namun tidak diketahui dimana tempatnya. Sehingga atas dasar itu, Brigjen (purn) Daan Yahya yang saat peristiwa terjadi menjabat sebagai komandan Resimen III, bersama dengan Jenderal AH Nasution dan enam rekan seperjuangannya memberanikan diri membuat pernyataan, bahwa Letkol Surotokunto dan tiga stafnya telah gugur. Walaupun diakuinya, hanya Tuhanlah yang maha mengetahui nasib mereka. Ada dugaan kuat, sebagai perwira menengah yang dikenal tegas dan berani, Surotokunto tidak mau menyerah dengan begitu saja pada para penculknya. Walaupun ia menyadari nasib yang akan menimpa.
Untuk mengenang peristiwa itu, tepat dimana ditemukan mobil sedan yang pernah ditumpangi Letkol Surotokunto dan stafnya, kemudian didirikan tugu peringatan Surotokunto. Peresmiannya dilakukan KSAD Kol AH Nasution pada Hari Pahlawan tanggal 10 November 1951. Menjelang peringaat HUT Divisi Siliwangi (Kini Komado Daerah Militer III/Siliwangi), pada hari Minggu tanggal 18 Mei 1980 di tempat yang sama dilakukan penggalian tanah sebagai "pemakaman syarat" almarhum Letkol Surotokunto. Dalam suasana khidmat, semua yang hadir terdiam saat beberapa prajurit Siliwangi melakukan penggalian. Tanah galian yang berasal dari tempat hilangnya sang komandan tersebut, kemudian dimakamkan kembali di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung, bertepatan dengan HUT Divisi Siliwangi ke-34. (*)
Sekarang, menginjak tahun ke 68, di atas untaian puisi sang maestro Chairil Anwar berjudul Karawang-Bekasi, patung peringatan dengan bintang lima di bagian tengahnya itu masih menyisakan misteri. Ya, tugu itu dibuat untuk mengenang bahwa Letkol Surotokunto bersama tiga stafnya yaitu Major Adel Sofyan, Kopral Muhajar, dan Prajurit Murod, hilang tepat di tempat tugu itu berada tanggal 28 November 1946.
Dalam buku yang berjudul Rengasdengklok, Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945 karya Her Suganda, Mantan Asisten Operasi Dokter Suwardjono Surjaningrat saat masih menjabat Menteri Kesehatan menceritakan, saat itu daerah Karawang dan Bekasi menjadi wilayah militer resimen 4. Daerah yang menjadi pertaruhan Republik Indonesia, karena Belanda masih ingin berkuasa. Melalui kaki tangannya, antara lain laskar-laskar rakyat yang pro Hindia-Belanda dan menolak bergabung dengan Tentara Republik Indonesia (TRI), dengan berbagai cara berusaha merongrong Divisi Siliwangi.
Ia melanjutkan, sehari sebelum dilaksanakan gencatan senjata dengan Belanda, Surotokunto dan stafnya melakukan inspeksi ke daerah Cibarusah yang terletak di bagian selatan Bekasi. Turut serta diantaranya kepala Staf Mayor Adel Sofyan, Kopral Muhayar, dan Prajurit Murod. Saat itu Suwardjono berpangkat Kapten. Namun, setelah dinanti sampai keesokan harinya, Letkol Surotokunto dan stafnya tidak kunjung kembali ke markas. Sejak itu pencarian dilakukan. Akan tetapi, yang dijumpai hanya mobil sedan merk Ford yang digunakannya dengan kunci kontaknya masih tergantung. Kendaraan itu ditinggal begitu saja di sisi jalan raya Warungbambu. Ada dugaan keempatnya telah dihadang dan kemudian dipaksa turun dari kendaraan, lalu diculik entah dibawa kemana.
Buktinya, walau usaha pencarian terus dilakukan, Letkol Surotokunto dan stafnya tidak pernah diketahui keberadaannya. Ia dan tiga stafnya diduga kuat telah dihabisi, namun tidak diketahui dimana tempatnya. Sehingga atas dasar itu, Brigjen (purn) Daan Yahya yang saat peristiwa terjadi menjabat sebagai komandan Resimen III, bersama dengan Jenderal AH Nasution dan enam rekan seperjuangannya memberanikan diri membuat pernyataan, bahwa Letkol Surotokunto dan tiga stafnya telah gugur. Walaupun diakuinya, hanya Tuhanlah yang maha mengetahui nasib mereka. Ada dugaan kuat, sebagai perwira menengah yang dikenal tegas dan berani, Surotokunto tidak mau menyerah dengan begitu saja pada para penculknya. Walaupun ia menyadari nasib yang akan menimpa.
Untuk mengenang peristiwa itu, tepat dimana ditemukan mobil sedan yang pernah ditumpangi Letkol Surotokunto dan stafnya, kemudian didirikan tugu peringatan Surotokunto. Peresmiannya dilakukan KSAD Kol AH Nasution pada Hari Pahlawan tanggal 10 November 1951. Menjelang peringaat HUT Divisi Siliwangi (Kini Komado Daerah Militer III/Siliwangi), pada hari Minggu tanggal 18 Mei 1980 di tempat yang sama dilakukan penggalian tanah sebagai "pemakaman syarat" almarhum Letkol Surotokunto. Dalam suasana khidmat, semua yang hadir terdiam saat beberapa prajurit Siliwangi melakukan penggalian. Tanah galian yang berasal dari tempat hilangnya sang komandan tersebut, kemudian dimakamkan kembali di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung, bertepatan dengan HUT Divisi Siliwangi ke-34. (*)
Tidak Sekolah Karena Buku Terhempas Banjir
Peristiwa ini terjadi tiga tahun silam di kawasan Karawang Selatan, tepatnya di Desa Kutalanggeung, Kecamatan Tegalwaru. Saat itu, banjir meluas di desa yang sebetulnya lokasinya berada di wilayah cukup tinggi.
Rino (11) salah seorang siswa SD Kutalanggeung, terpaksa tidak sekolah karena seluruh baju dan buku yang ia miliki terhempas banjir akibat meluapnya Sungai Cicangor, Senin (16/2) malam. Kini, ia hanya bisa meratapi buku-buku basah yang berhasil ia selamatkan ketika banjir melanda, dan berharap dalam waktu dekat semua buku-buku maupun seragam sekolah bisa ia miliki kembali.
Malam itu, mungkin menjadi malam yang tidak bisa dilupakan oleh Rino. Bocah yang kini masih duduk di bangku kelas enam, mengaku ketika kejadian ia sedang berada di dalam rumah mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR). Namun sayang, ketika menyurusi lorong-lorong ilmu pengetahuan, banjir bandang menghempaskan seluruh isi rumah beserta buku-buku yang ia baca. Seketika itu, yang ia ingat hanya menyelamatkan buku PR yang sedang diisi, sebagai laporan kepada Guru bahwa ia bukan siswa pemalas. Namun naas, ia tidak berhasil menyelamatkan buku tersebut, karena banjir bandang yang disertai lumpur membuat bukunya kotor dan basah.
Meski Rino bukan satu-satunya bocah di Desa Kutalanggeung Kecamatan Tegalwaru yang merasakan ganasnya terjangan Sungai Cicangor, namun dari sekian puluh anak yang menjadi korban banjir, mungkin hanya ia yang mengumpulkan buku-buku basah miliknya untuk dijemur. Meskipun ketika kering, catatan yang ia tulis selama satu semester tidak bisa kembali dibaca karena rusak. Buku-buku pelajaran sekolah yang ia jemur beralasakan tikar di atas batu koral, tidak pernah luput dari pantauannya. Sejak matahari baru muncul di ufuk timur, ia sudah menyiapkan tikar dan buku-buku basah yang ia selamatkan ketika banjir. Dengan harapan, ketika kering buku tersebut bisa kembali ia gunakan. "Saya sedih, buku pelajaran basah semua. Mudah-mudahan setelah dijemur, buku ini bisa kembali digunakan dan saya bisa kembali bersekolah," tuturnya.
Meski harus merasakan bencana yang begitu dasyatnya di umur yang begitu muda, Rino mengaku hal itu tidak membuatnya takut. Bahkan ia mengatakan, besok akan pergi ke sekolah. "Kalau rumah sudah dibersihkan, saya akan ke sekolah lagi. Karena kalau enggak ke sekolah nanti takut enggak lulus," katanya.
Ketika disinggung bagaimana kalau bukunya tidak bisa digunakan lagi, Rino berharap orang tuanya bisa membelikan buku yang baru. Meski demikian, ia tetap bersikukuh kalau bukunya masih bisa digunakan. "Tinggal nunggu kering aja, nanti juga bisa digunakan," tandasnya. (*)
Subscribe to:
Posts (Atom)